"BAKAR CINA!" teriak mereka.
Sebagian dari mereka berteriak dan sebagian yang lain melakukan aksi bakar. Terdengar suara Pak Tua dan Bu Poni yang berusaha melawan, mereka diseret ke ruangan lain yang tak bisa aku lihat. Setelahnya aku tak lagi mendengar suara kedua orang tua itu.
Massa itu semakin mengamuk seolah sesuatu yang berharga dari mereka telah di renggut. Kesedihan macam apa membuat mereka kesetanan? Aku sering melihat beberapa pria tegap meminta uang kepada Pak Tua, tapi Pak Tua tak sampai semarah itu. Suara amukan itu penuh amarah dan kebencian seolah Pak Tua dan Bu Poni telah mengambil anak kesayangan mereka, memperkosannya di depan umum dan membunuhnya secara sadis. Tapi kedua orang tua lemah itu tak melakukannya, lalu kenapa?
Aku rasa mereka adalah bala tentara kiriman raja neraka. Mungkinkah raja neraka marah karna pengikutnya semakin berkurang, lalu ia menghidupkan beberapa tubuh kosong tanpa otak dan hati, kemudian meracuninya dengan ketidakadilan. Manusia akan dengan mudah saling membenci saat mendapat perlakuan tak adil. Maka ia ciptakan ketidakadilan yang mungkin hingga berabad tahun lagi pun belum juga terpecahkan asal muasalnya.
Kaca tempatku hidup tak lagi kuasa menahan panas. Tak butuh lama, kaca itu pun pecah. Aku terhempas ke lantai bersama air dan pecahan kaca. Rupanya raja neraka ingin aku mati, tapi apa untungnya membunuhku? Aku mulai kehabisan napas. Pertanyaan itu muncul sesaat sebelum aku benar-benar mati.
***
Duhai Malaikat, bukankah calon penghuni surga mendapat kesempatan mengajukan syarat sebelum masuk ke surga?
Apa yang kau inginkan? Balas malaikat.
Aku ingin masuk ke surga bersama gadis dalam ceritaku tadi.
Malaikat menggeleng.
Maksudnya, Ia tak layak atau ia belum mati?
Seketika penglihatanku dibuka oleh malaikat. Ada sebuah kamar kecil dan seorang dokter yang tengah merawat gadis, aku hampir tak mengenalinya. Cahaya mukanya menghilang, payudaranya rusak, darah masih mengucur dari selangkangannya, matanya terpejam, ia merintih. Mataku memejam.