Tanggal mati? tanya malaikat
13 Mei 1998. Jawabku.
Alasan mati?
Rasanya aku ingin melewati saja pertanyaan ini!
Januari 1998
Perempuan itu mendekatkan wajahnya hingga hidungnya berjarak sangat dekat dengan kaca di depanku. Bola matanya berbinar tak berkedip mengikuti ke mana pun aku bergerak. Lalu, sebuah senyum riang nampak seiring saat ia berkedip.Â
Ia berteriak riang, menghampiri Pak Tua yang sudah separuh abad dan segera memeluknya. Ia terlihat bahagia atas kedatanganku.
Sehari sebelumnya aku masih berkubang dengan keramaian dan bau. Pak Tua itu yang membawaku, memberikanku tempat tinggal yang lebih layak. Aku sudah biasa melihat wanita di pasar, wajah mereka tidak ramah.Â
Cara mereka menawar seperti preman. Seolah 25 rupiah adalah soal hidup dan mati. Aku juga melihat wajah-wajah wanita yang gelisah di sekitaran toko baju, seolah ada ketidaksingkronan antara harapan dan kenyataan. Selebihnya adalah wajah-wajah tanpa tujuan, tak bergairah. Bagi golongan ini, hidup hanyalah sebatas pengguguran kewajiban.
Gadis yang sedang bersama Pak tua ini berbeda, matanya banyak bercerita. Menatapnya seperti menatap langit, luas, damai dan tanpa batas. Rambutnya hitam, pendek sebahu, kulitnya putih, matanya sipit. Saat ia tersenyum, saat itu aku jatuh cinta padanya.
Pak Tua adalah pemilik toko listrik. Ia dibantu seorang wanita paruh baya yang juga bermata sipit sama seperti gadis itu. Wanita tersebut banyak menyimpan kosakata. Jika sedang marah, ia bisa mengeluarkan kata yang mungkin seorang guru bahasa Indonesia pun tak mampu mencernanya.Â
Pak Tua lebih suka berlalu ke ruangan lain ketimbang berharap wanita itu menyudahi kata-katanya. Aku menyebutnya Bu Poni Gulung karena poninya selalu digulung ke atas. Selain Bu Poni Gulung, pak tua juga punya 2 orang karyawan laki-laki yang tinggal tak jauh dari daerah ruko tersebut.
Saat pulang sekolah, si gadis akan langsung naik ke lantai 2, menaruh tas, melepas sepatu, kaos kaki lalu merebahkan diri sejenak di atas kasur berseprei biru laut. Usai memanjakan diri beberapa menit, ia akan mengganti seragam sekolahnya dengan kaos yang sedikit longgar dan celana pendek sepaha. Ia merapikan rambut, mengaitkannya di belakang telinga dan setengah berlari menuju tangga lantai bawah.
Ia menepuk bahu dan menyapa pegawai ayahnya. Si Gadis terlihat ramah dan dekat dengan semua pegawai meski mereka terlihat berbeda. Kulit pegawai-pegawai itu lebih gelap, mata mereka tak sempit seperti mata keluarga Pak Tua.
Si Gadis mencium pipi Bu Poni Gulung. Bu Poni mengarahkan mata si gadis ke meja makan namun dibalas dengan gelengan. Ia malah mengambil catatan, menghitung jumlah kotak lampu kemudian mencatat.
Sepertinya ia sudah sangat terbiasa dan terlatih. Ia akan larut dengan kegiatannya hingga toko tutup. Si Gadis baru akan ingat makan siangnya menjelang gelap.
Beberapa bulan di tempat ini aku sudah hapal kebiasaan-kebiasaan penghuninya. Pak Tua yang suka membaca koran berhuruf mandarin setiap pukul 6 pagi di kursi tua. Wanita tua yang minimal marah-marah 3 kali dalam sehari dan si gadis yang suka melamun menatap bintang dari balik jendela setiap malam.
Setiap 2 hari sekali si gadis akan membuka dan menulis catatan rahasia yang ia sembunyikan dari Pak Tua dan Bu Poni gulung. Terkadang ia menulis dengan senyum, namun adakalanya mukanya cemberut penuh kesal. Jika tidak menulis catatan, ia akan pergi tidur lebih dini dan bangun lebih awal dari penghuni yang lain.
Kebiasaan baru untuknya adalah bercerita kepadaku.
Kamu pernah jatuh cinta? Ia bertanya melalui kedua matanya.
Iya. Tentu saja. Jawabku berkedip.
Apa rasanya seperti ada kupu-kupu di dalam perut? tanyanya lagi.
Emm, mungkin juga. Seperti saat kamu menatapku seperti ini, entah bagaimana aku mengumpamakannya. Apa kau jatuh cinta padaku?
Ia tersenyum lalu berbalik menuju ranjang dengan sprei biru langit warna kesukaannya. Saat tidur ia seperti bayi, lembut dan tanpa dosa.
12 Mei 1998
Pagi itu suasana rumah tak seperti biasanya, Pak Tua berkali-kali mengkerutan dahi saat membaca koran. Ia terlihat resah. Bu Poni Gulung pun tak kalah resah. Si Gadis sudah siap dengan seragam dan tas sekolahnya namun dihalang-halangi Bu Poni Gulung. Dari Raut dan intonasi, mereka terlihat berbeda pendapat. Si gadis memaksa dan memutuskan untuk tetap berangkat ke sekolah.
Hari itu kedua pegawai Pak Tua tak nampak batang hidungnya. Tak pula ada tanda-tanda toko akan dibuka. Ruko 2 lantai yang biasa ramai pengunjung mendadak senyap.
Sudah hampir subuh dan Gadis itu belum juga pulang. Tinggal aku yang terjaga setelah Pak Tua dan Bu Poni Gulung tertidur di kursi. Mereka roboh setelah seharian menunggu dengan penuh kekhawatiran. TV masih menyala tanpa penikmat. Aku mulai mencemaskan gadis itu.
13 Mei 1998
Belum sampai matahari terbit, Pak Tua dan Bu Poni Gulung terkaget oleh suara gaduh dari luar rumah. Pak Tua menghambur ke jendela menatap ke luar dengan penuh kecemasan disusul Bu Poni Gulung. Sigap mereka serempak mengecek dan menutup ganda semua pintu dan jendela.
Pintu utama ruko mereka memiliki 2 lapis pengaman, tralis besi dan rolling door. Sedari hari lalu keduanya sudah terkunci rapat, Pak Tua memastikan kembali semua jendela benar terkunci. Bu Poni Gulung menaiki tangga lantai dengan tergopoh menuju ke teras atas yang tertutup tralis. Wajahnya terhenyak sesaat setelah menyapukan pandangan ke segala penjuru. Asap mengepul di udara dibarengi suara teriakan. Ia mulai ketakutan.
Dengan tangan gemetar dan terburu-buru ia mengunci pintu atas, menutup gorden warna merah mudah dengan satu tarikan kilat. Pak tua berlari ke kanan dan kiri, bingung. Ia mengambil papan kecil dan spidol hitam lalu menuliskan "MILIK PRIBUMI" dengan abjad besar dan tangan gemetar.
Mereka belum sempat bernapas teratur ketika tiba-tiba suara gaduh dari luar ruko mulai semakin mendekat. Tralis Besi pintu utama mereka digedor, sesekali terdengar suara benda tajam mengenainya. Pak Tua dan Bu Poni Gulung semakin panik. Pak Tua mengisyaratkan untuk menggeser etalase ke arah belakang pintu utama. Bu Poni Gulung menyapu beberapa isi etalase dengan satu ayunan tangan.
Suara yang terdengar mirip itu semakin menjadi-jadi. Mereka berteriak dalam kemarahan.
Suara kaca pecah terdengar dari arah lantai atas. Sebuah botol berisi minyak dengan api menyala menembus celah traslis dan jatuh tepat di atas kasur bersprei biru laut.Â
Perlahan api mulai membesar, ujungnya menjilat meja kayu yang berada tepat di samping tempat tidur. Api menyala semakin tak terkendali. Buku matematika yang pertama jadi sasaran. Aku teringat buku harian si gadis yang ia selipkan di laci meja. Buku  tersebut pasti sedang kepanasan menunggu giliran digilas si jago merah. Rasanya aku ingin cepat mengambilnya dan melemparnya ke sini. Tapi aku hanya berdiam diri, merasakan api yang mulai mendekatiku.
Raut terkejut tak dapat disembunyikan dari muka Bu Poni dan Pak Tua ketika menyadari api sudah menjalar ke lantai 2. Mereka membawa kain basah dan menghantamkannya ke bagian yang masih menyala.
Telepon berdering, Bu Poni mendarat ke bawah dan mengangkatnya dengan tergopoh. Ia menangis. Pak Tua yang mendekati Bu Poni ikut menangis. Tak hanya mereka, di hari itu, langit dan bumi pun menangis.
Mereka terduduk lemas, Bu Poni mengusap-usap bahu Pak Tua seolah itulah satu-satunya hal baik yang masih tersisa. Ia sudah tak ingat kapan terakhir kali bahu tua itu ia usap, mungkin 10 tahun lalu, mungkin sebelum si gadis terlahir.
Massa dari luar terdengar semakin ganas, mendobrak-dobrak penuh amarah. Tak berapa lama, mereka berhasil membobol dan mengobrak-abrik isi ruko.
"BAKAR CINA!" teriak mereka.
Sebagian dari mereka berteriak dan sebagian yang lain melakukan aksi bakar. Terdengar suara Pak Tua dan Bu Poni yang berusaha melawan, mereka diseret ke ruangan lain yang tak bisa aku lihat. Setelahnya aku tak lagi mendengar suara kedua orang tua itu.
Massa itu semakin mengamuk seolah sesuatu yang berharga dari mereka telah di renggut. Kesedihan macam apa membuat mereka kesetanan? Aku sering melihat beberapa pria tegap meminta uang kepada Pak Tua, tapi Pak Tua tak sampai semarah itu. Suara amukan itu penuh amarah dan kebencian seolah Pak Tua dan Bu Poni telah mengambil anak kesayangan mereka, memperkosannya di depan umum dan membunuhnya secara sadis. Tapi kedua orang tua lemah itu tak melakukannya, lalu kenapa?
Aku rasa mereka adalah bala tentara kiriman raja neraka. Mungkinkah raja neraka marah karna pengikutnya semakin berkurang, lalu ia menghidupkan beberapa tubuh kosong tanpa otak dan hati, kemudian meracuninya dengan ketidakadilan. Manusia akan dengan mudah saling membenci saat mendapat perlakuan tak adil. Maka ia ciptakan ketidakadilan yang mungkin hingga berabad tahun lagi pun belum juga terpecahkan asal muasalnya.
Kaca tempatku hidup tak lagi kuasa menahan panas. Tak butuh lama, kaca itu pun pecah. Aku terhempas ke lantai bersama air dan pecahan kaca. Rupanya raja neraka ingin aku mati, tapi apa untungnya membunuhku? Aku mulai kehabisan napas. Pertanyaan itu muncul sesaat sebelum aku benar-benar mati.
***
Duhai Malaikat, bukankah calon penghuni surga mendapat kesempatan mengajukan syarat sebelum masuk ke surga?
Apa yang kau inginkan? Balas malaikat.
Aku ingin masuk ke surga bersama gadis dalam ceritaku tadi.
Malaikat menggeleng.
Maksudnya, Ia tak layak atau ia belum mati?
Seketika penglihatanku dibuka oleh malaikat. Ada sebuah kamar kecil dan seorang dokter yang tengah merawat gadis, aku hampir tak mengenalinya. Cahaya mukanya menghilang, payudaranya rusak, darah masih mengucur dari selangkangannya, matanya terpejam, ia merintih. Mataku memejam.
Rasanya aku ingin membunuh raja neraka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H