“Hei, berani-beraninya. Diculik cowok baru tahu rasa!” Ririt mengacak-ngacak rambut saya. Belum banyak berubah ini anak.
Beberapa penjaga stand di toko sepatu mengamati kami. Mungkin mereka merasa geli melihat kami.
“Kita cari warung, yuk, sambil omong-omong,” tawar Ririt.
Masih belum berubah juga pola pikirnya. Perut melulu yang dipikir.
“He ekh!” Saya mengiyakan.
Kami memesan dua gelas es sari jeruk. Sembari menunggu pesanan kami ngobrol ngalor-ngidul. Benar, Ririt memang masih belum berubah. Masih seperti dulu. Gayanya berkotek-kotek masih saja nyerocos. Bahkan, Riritlah yang banyak memborong cerita dalam pertemuan kami siang itu.
“Siapa cowokmu sekarang?” tanya saya setelah kami asyik ngobrol.
Ririt tersenyum. “Tebak deh” katanya ringan.
Lho memang saya dukun? Ketemu, dapat kabar aja nggak pernah, suruh nebak pacarnya. Batin saya.
“Ya masih tetap yang dulu. Wisnu,” ujar Ririt kemudian
Hah? Saya terperangah. Ririt bisa bertahan satu tahun lebih dengan Wisnu? Ini prestasi luar biasa. Bisa dimasukan ke MURI-nya Jaya Suprana. Saya geleng-geleng kepala.