Saya tak berkomentar. Bingung musti ngomong apa. Kok selera Ririt jadi parah begitu?
“Aku suka Wisnu karena penampilan dia yang apa adanya, Yos,” kata Ririt kemudian.
Saya cuma mengangguk. Ririt benar, penampilan Wisnu memang apa adanya. Hanya dalam hati saya, kuat berapa hari Ririt pacaran dengan Wisnu? Dulu, Gigih-Anto-Doni-Pras –Bobby, dan entah siapa lagi nama mantan pacar Ririt yang penampilannya lumayan saja, nggak pernah ada yang bisa pacaran sampai lebih tiga bulan.
**
Sepatu-sepatu di Cibaduyut, huuh, mata saya sampai pedas melihatnya. Modelnya macam-macam, harganya murah-murah lagi. Saya memang sengaja ke Cibaduyut sendirian siang itu. Soalnya, kalau beli barang, saya milih-milihnya lama. Jadi waktu tadi tante mau menemani, saya bilang nggak usah. Paling enak pergi sendiri, nggak ada beban harus menghargai perasaan orang lain segala macam. Itulah sebabnya ketika hendak ke Cibaduyut tadi, saya cuma minta kasih tahu jalannya saja sama tante. Kota Bandung kan belum saya hapal benar. Baru dua kali ini saya main ke rumah tante di Bandung.
“Heiii, Yosi, ya?” Seseorang menepuk pundak saya dari belakang ketika saya sedang asyik memilih sepatu.
Saya menoleh.
“Ririt?” Pekik saya terkejut, campur senang.
Sudah lama sekali nggak ketemu Ririt. Tepatnya setelah kami lulus SMA . Ririt juga jahat. Setelah lulus ia tidak memberi tahu di mana rimbanya. Saya hanya dengar kabar Ririt kuliah di Bandung. Hingga kini berarti kurang lebih waktu satu tahun kami tak bertemu.
“Sama siapa ke sini?” tanya Ririt.
“Sendiri,” sahut saya.