Mohon tunggu...
31_SALMA MEILANI_ XI MIPA 2
31_SALMA MEILANI_ XI MIPA 2 Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswa

Halo.... Salam dari perempuan Taurus yang suka semesta :)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bulannya Taurus yang Bermakna

22 September 2022   18:53 Diperbarui: 22 September 2022   18:55 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

           Kesedihan itu masih terus berlanjut hari demi hari. Aku menjadi pendiam yang handal. Adik, maupun Bapak tidak mengangguku seperti biasa. Karena untuk apa? Disini saja aku sudah gagal kan? Bapak dan Ibu pasti kecewa. Tapi, apa yang terjadi kemarin juga terlanjur kujadikan abadi diruang yang besar. Salah kalau semuanya di bilang gak apa-apa. Kegagalan ini terlalu sakit. Karena gagal yang semesta kasih, gak main-main. 

          Padahal sebentar lagi ujian kenaikan kelas akan dimulai. Aku mencoba membalasnya dengan belajar mati-matian. Ku kerahkan semuanya untuk ujian yang sebentar lagi datang. Dentingan tangis sudah bukan lagi hal yang harus ada. Hatiku sudah kebal untuk gagal yang semesta kasih tanpa aba. Kulampiaskan semuanya disini. Bapak sudah geleng-geleng kepala melihat ku yang seharian hanya duduk dimeja belajar dan membuka buku pelajaran tiap harinya. Padahal Bapak tahu, aku lebih menyukai buku novel yang lebih menarik untuk dibaca. Namun, kala itu buku manarik yang selalu kubaca, tidak lagi menjadi hiburan untuk hati yang gak baik-baik aja. Keberhasilan yang kumau, menjadi main point akan cerita ku sekarang. Karena ternyata gagal yang semesta kasih gak asik buat dinikmati lama-lama. 

           Hari demi hari bagaikan bumi yang kemarau. Semuanya kering tanpa hujan yang hadir. Kesakitan ini lebih baik mengering tanpa setetes air yang turun. Karena sakit yang semesta kasih, terlanjur masuk, terlanjur abadi untuk bahagia yang entah datang kapan. Seandainya ini hanya sementara, jangan biarkan semuanya layu. Jangan biarkan semuanya hilang dirampas kegagalan kemarin. Sayangnya, aku sudah tak berani untuk mencoba berahap hal yang baik lagi pada semesta yang kata Bapak jail, namun menurutku jelas tak pernah adil. 

           Ujian akhir semester pun datang. Bagai almanak tanpa kaki, waktu ini berjalan tanpa tahu kenapa sudah di hari ini saja kita tumbuh berdiri? Dengan tekad yang hanya tersisa, aku belajar mati-matian untuk tidak lagi melihat seisi dunia kering. Bapak selalu menyiapkan susu hangat, Ibu yang selalu mengingat kan makan, Adik yang berubah penurut. Dan Kakak yang menjadi lebih peka keadaan. Kehangatan itu menjalar kedalam tubuh. Membawa ragaku untuk kembali merebut harapan besar yang sempat hilang. Dengan semangat yang kupunya, seminggu itu kuserahkan seisi hati yang tengah berusaha membaik. Raga yang berusaha percaya. Dan jiwa yang kuusahakan untuk memaafkan semesta. 

          Kehangatan semuanya, membuatku sedikit lebih nyaman. Ketakutan yang tak ada habisnya itu, tidak lagi menjadi dalam ketika kepercayaan diri itu kian membaik. Harapan ku kian tumbuh kembali. Pulang ketempat semula yang ternyata, selama ini tidak pernah ku suruh pergi selama nya. Dia tetap ada mengintip sampai waktunya untuk kembali kusuruh hadir. Kegagalan yang semesta kasih, ternyata menjadi rute yang nyaman ketika hati sudah berani ikhlas untuk menjalani semuanya berjalan beriringan. 

            Akhirnya, pengambilan rapot pun tiba. Bapak yang kembali mengambil hasil kegiatanku di sekolah selama ini. Bapak selalu mengatakan bahwa tak harus takut. Karena Bapak tak akan pernah menghakimi anaknya hanya karena nilai mereka tidak bagus. Namun, sesungguhnya bukan hal itu yang kutakutkan. Kekecewaan diwajah Bapak dan Ibu lah, yang lebih mengganggu tidurku selama ini. Bapak dan Ibu tak pernah menuntut ku untuk tetap selamanya mendapat nilai sempurna, mereka lebih menghargai proses dan kemampuan yang Alam kasih. Tapi, ada kalanya aku sebagai anak yang selalu ingin melihat Bapak dan Ibu senang karena anaknya juga bisa juara. Bisa menjadi lebih seperti harapan yang selalu mereka panjatkan seiring dengan langkahku yang terus berjalan kedepan. 

           Bagian Bapak dipanggil. Aku cemas. Menunduk berharap semesta tidak 'jail' untuk kali ini saja. Capek semesta. Kegagalan kemarin juga belum usai. Jangan kasih sedih yang berat dulu, belum kuat. Semuanya lagi ku usahakan buat reda dulu. Tunda sampai semuanya baik-baik aja, ya semesta? Aku mohon. Karena setegar-tegarnya hati manusia juga bisa kecewa. Bisa rapuh untuk waktu yang entah sampai kapan mereka ikhlaskan. Syukur kalo itu bisa cepat pulih, kalau tidak, bantu sembuhkan dengan cepat, yah. Karena meski gagal adalah rute terbaik untuk memperbaiki diri, namun bukan berarti layak untuk dinikmati terlalu lama. 

          Senyuman Bapak merekah. Tangan hangatnya mengelus kepalaku lembut. Aku beralih menatap Bapak. Semesta, janji kasih kabar yang baik, yah? Setidaknya kasih kesempatan buat aku liat senyum Bapak yang bangga. Gagalnya, sudah di introspeksi. Sudah di telaah. Jadi, janji untuk kasih kabar baik yah, hari ini. Buat Bapak dan Ibu setidaknya bangga untuk hari ini, karena pencapaian anaknya yang selalu menyusahkan mereka. Gagal kemarin, cukup hari itu aja, yah. Biarin terbang ku lebih tinggi dari hari itu. 

 

"Kenapa? Jelek, yah?" Aku menatap Bapak ragu. 

"Juara satu nih bos, masih cemberut? Juara satu loh. Masih perlu ngurung diri di kamar?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun