Setelah melewati pelatihan yang cukup lama, cukup menguras tenaga, waktu terasa sehari untuk rentang 2 minggu yang seharusnya terasa cukup lama. Batin ku bergejolak ketika mengingat selisih yang hanya sebentar saja dari perayaan kecil itu. Perlombaan KSN ini adalah lomba yang selalu kutunggu, selalu kuharapkan yang terbaik disana. Karena bukan dari keluarga berada, Bapak selalu menekankan bahwa jangan dimanja keadaan. Maka lewat KSN ini, aku berharap akan menjadikan jembatan indah yang nyata. Yang amat mulus. Dan berakhir dengan membawaku terbang lebih jauh seperti merpati yang terbang lepas tanpa takut akan jatuh. Semesta, kalau berharap tinggi sejauh burung merpati yang terbang, akankah ada jatuh yang menunggu? Karena terbang yang kulakukan sekarang tidak lepas, melainkan membawa beban berat yang sedari lama sudah ingin kumusnahkan.Â
     Kala itu, ketika seorang guru menanyakan kesanggupanku untuk ikut andil dalam KSN bidang Matematika. Tak pernah terlupakan ketika wajah senang Bapak dan Ibu yang tak hentinya menyertakan do'a dan semangat yang tulus. Matanya berair menyaksikan anaknya yang dipercaya untuk ikut lomba mewakili sekolah tercinta. Semangatku kian memuncak sama tingginya dengan hangat tangan Bapak yang selalu menyertai kepalaku ketika Bapak merasa bangga pada anaknya. Bapak berpesan, bahwa tidak ada hasil yang didapat tanpa usaha yang maksimal. Bapak selalu mengajarkanku bahwa dunia tidak selamanya bodoh dan adil. Ada kalanya, dunia juga melihat proses untuk bisa sampai digunung yang tinggi.Â
     Sekitar kurang lebih 1 bulan, guru Matematika selalu membimbingku agar bisa bersaing diperlombaan tadi. Temanku yang ada dibidang yang sama selalu ragu akan puncak itu. Tapi itu tidak menyurutkan semangatku untuk terus berlatih mengerjakan soal-soal yang memusingkan. Selama itu aku mencoba untuk menghadapi segala soal yang tidak wajar. Mengatur jam belajar untuk sekolah maupun perlombaan. Mengatur tugas sekolah, juga membuat nameset(nama dan nomor punggung dibaju) yang sekarang menjadi lapangan pekerjaan baru untukku.Â
     Sempat terpikir untuk berhenti, untuk mengakiri semuanya dan menyerahkan nya kepada orang lain. Tapi Bapak dan Ibu selalu mengatakan bahwa anaknya juga mampu, anaknya bisa untuk tetap berdiri disini. Bapak selalu yang optimistis. Selalu berkata iya jika anaknya sedang takut dilanda kebingungan. Bapak yang selalu menjadi Topangan ketika tubuhku tidak sanggup untuk dijalani sendirian. Aku menjadi kian percaya diri, ini adalah kesempatan yang gak akan ada lagi. Anggaplah kesempatan terakhir yang jika ditolak, ruginya sampai mati. Belajar pagi sampai malam juga bukan hal yang ku sesali lagi. Karena ikhlas, karena optimis, untuk bisa terbang jauh lebih tinggi. Tanpa lihat, bahwa gak menutup kemungkinan bahwa jatuh akan tetap ada dibawah sana.Â
     Namun, setelah informasi KSN silih hilir mudik masuk ku terima, disatukan dengan orang-orang yang beragam dan sedang sama-sama berjuang, disitulah semesta menunjukkan bahwa sampai kapanpun yang diatas, akan ada yang lebih melaju tinggi. Keraguan, ketakutan, malah menelisik masuk tanpa disuruh. Bayangan kekecewaan kian menjadi ketakutan yang paling nyata. Percaya diri yang perempuan Taurus punya, kian hilang terkikis rasa iri yang terpupuk tanpa sengaja. Rasa itu kian menjadi kacau ketika sampai hari dimana simulasi untuk memulai lomba diadakan, rasa percaya diri itu, menjadi hilang semuanya. Bagaikan sesakit ombak yang memeluk pantai, rasa iri itu menerkam jiwa tak bersalah, terlihat biasa saja, namun tidak dengan didalamnya. Andai semesta tahu, kata maaf apalagi yang harus semesta kasih untuk manusia yang sudah gagal sebelum sampai. Sebelum memulai.Â
      Hingga perlombaan dimulai. Doa Bapak dan Ibu selalu menyertai langkahku yang memberat. Iringan senyum Ibu yang menyapa matahari, kian melebar ketika aku sudah beranjak untuk pergi mengikuti lomba. Harapan besar sudah hilang sejak kapan. Yang kuharapkan sekarang, semoga bisa sampai meski sudah patah dijalan. Karena sekuat apapun meyakinkan, bukan saat ini untuk kembali merasa percaya dengan jiwa sendiri. Semesta, jika langkah sepatu yang sudah agak lusuh ini engkau ridhai untuk tetap merasakan terbang lebih lama, maka biarkan itu untuk berjalan mulus apa adanya. Namun, jika kejatuhan itu harus engkau berikan saat ini juga, berikan hati yang lapang untuk hati yang tidak lagi tegar. Semesta, jika sedih yang harus kuterima, biarkan kesakitan itu hanya ada padaku saja, jangan biarkan orangtua ku merasakan sedih yang mendalam. Biarkan dunia dengan musim yang semi dihidup mereka. Jangan biarkan setetes hujan membanjiri hidupnya.Â
      Harapan besar itu kian menyusut ketika usai lomba. Ketegangan semakin terasa ketika kerabat, Bapak dan Ibu selalu menanyakan hal yang sama, perihal apa tadi bisa? Bagaimana, mudah? Pertanyaan itu semakin membuat ruang dada terhimpit kenyataan. Ketakutan semakin menggerogoti hal apapun yang masih bisa ku genggam. Rasa ketakutan itu, menjadi kian menggelayut kuat. Soal KSN yang tadi kukerjakan, tidak semulus sesuai rencana. Semua yang kuisi tidak ada satupun yang kutaruh dengan percaya diri. Semesta, kalau gagal bilang dulu. Kasih jeda untuk rasa sakit yang belum siap kuterima.Â
      Aku berusaha untuk tidak mengingat itu kembali. Kenangan tidak memuaskan itu, melebur bagai angin yang kuusahakan untuk tidak mengingat nya lagi. Namun nihil, kejadian lomba itu semakin terbuka lebar ketika hasil pengumuman lomba dibagikan lewat handphone. Kabar yang harusnya diterima dengan senyum tulus yang merekah, kini bukan lagi harapan besar yang indah. Ku tarik nafas dahulu sebelum melihat hasilnya seperti apa. Deg. Jantung ku berhenti berdetak untuk sesaat. Buram rasanya. Sesak sekali. Ketika warna merah mewarnai nama indah yang tertera. 'Salma Meilani_Anda tidak lolos ketahap berikutnya ' air mengalir melewati mata yang sama sekali masih tidak percaya. Tangisan itu kian pecah, ketika Bapak yang mengelus kepala ku seraya berkata.Â
"Gapapa, Bapak tetap bangga. Coba lain kali yah. Kita ambil hikmahnya sama-sama. Dan cari harapan baru yang kita curi dari semesta lagi. "
     Semesta, kenapa sakitnya sesesak ini? Kenapa gagal rasanya adalah hal yang menakutkan untuk ku coba lagi? Gagal yang kuterima, menjadi patokan hidup yang serba takut. Kenapa harus gini. Padahal sudah sekian lama aku berusaha untuk menantikan hasil yang bahagia. Bukan gini semesta. Bukan gagal seperti ini yang kumau. Bukan sesakit ini yang harus ada padaku. Kenapa gagalnya harus sekarang? Semesta, maaf. Aku akan benci kamu untuk waktu yang entah sampai kapan.Â
     Rasanya semua di dunia ini tidak adil. Bahkan ketika proses sudah kulakukan lebih, namun hasil tidak memberikan kesempatan bahagia untuk datang. Aku semakin terpuruk ketika postingan guru yang menyatakan ucapan selamat untuk murid-murid yang lolos. Di dalam kamar yang sunyi itu, di balik selimut yang hangat, aku menangis kencang. Dadaku bagaikan remuk yang semakin hancur ketika suara Ibu memanggilku dengan khawatir. Semuanya jadi kjawatir, atas kelakuanku yang tak wajar. Deringan handphone dari teman silih berganti menanyakan kabar apa yang kudapat. Pupus. Hancur. Berakhir. Aku gagal semesta. Gagal. Untuk sakit yang kuterima lebih dari harapan itu sendiri.Â