Akibat penamaan yang nyeleneh, kritik berhamburan di mesia sosial. Bukan apa-apa. Itu mengobjektifikasi perempuan. Sangat misoginis. Pejabat pengusul memiliki otak ngeres, pejabat penentu nama memiliki otak yang saru dan jorok.
Alhasil, SIPEPEK diubah. Sekarang aplikasi layanannya bernama SIPEPEG. Ah, setali tiga uang!
/3/
Dua kasus di atas menunjukkan betapa rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia para pejabat pemerintah. Bukan hanya di Jakarta dan Cirebon, gagal paham kata dan istilah bahasa Indonesia terjadi di antero Nusantara.
Pengadilan Negeri Semarang, misalnya. Mereka punya aplikasi bernama SITHOLEÂ alias Sistem Informasi Konsultasi Hukum Online. Aih, tampak seperti hendak pamer "burung". Seperti kaum ekshibisionis yang punya dorongan kuat melakukan ekshibisionisme.
Pemerintah Kabupaten Pamulang punya juga layanan yang namanya cukup berkonotasi buruk dan mengobjektifikasi perempuan. Namanya SISEMOK. Kepanjangannya adalah Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan.
Pemerintah Kota Solo tidak mau ketinggalan. Guna memantau stok kebutuhan pangan dan lain-lain, aplikasi bernama SIMONTOKÂ dilansir. Itu singkatan dari Sistem Monitoring Stok dan Kebutuhan Pangan Pokok.
Belum lagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki aplikasi bernama SISKA KUINTIP; Pemerintah Kabupaten Bogor dengan aplikasi bernama SICANTIK; dan Pemerintah Kota Tegal yang memiliki situs web bernama MAS DEDI MEMANG JANTAN.
Masih banyak nama-nama situsweb atau layanan pemerintah yang niretika. Mereka lupa bahwa ketika memberi nama buat anak-anak mereka selalu dipilihkan nama yang baik, nama berupa doa atau sejarah, nama yang bisa membuat pemiliknya bangga.
Dari kasus-kasus di atas kita dapat mengetahui betapa ceteknya rasa bahasa pejabat pemerintah kita. Kemampuan berbahasa Indonesia mereka sungguh alangkah dangkal. Celakanya, mereka biasanya enggan belajar.
Â