Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

'Cleansing' Guru Honorer, Aplikasi Sipepek, dan Pejabat Gagap Istilah

19 Juli 2024   22:29 Diperbarui: 19 Juli 2024   22:42 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nama aplikasi yang nyeleneh dan ngeres milik

/1/

Namanya Dono. Tiga belas tahun lamanya ia mengabdi sebagai guru honorer. Meski gaji tidak seberapa, meski dapur sering kehabisan sembako, ia tetap tekun mengajar. Pada hari pertama belajar tahun ini, ia harus menerima nasib. Ia mesti mengisi formulir cleansing guru honorer. Kasarnya, ia "dibersihkan". Lebih kasar lagi, ia "dibasmi".

Dono tidak pernah dikabari, begitu juga kepala sekolah di tempatnya mengabdi, bahwa ia akan diberhentikan. Alih-alih berkemas meninggalkan sekolah, ia malah ikut rapat dengan orangtua murid. Tahu-tahu dia dipecat. Tiga belas tahun pengabdian seolah-olah tiada berarti.

Pada hari yang sama di antero DKI Jakarta, ratusan guru honorer mengalami nasib serupa. Mereka tiba di sekolah tanpa tahu apa-apa, megajar seperti biasa karena merasa tidak terjadi apa-apa, lalu mendadak disuruh mengisi formulir pemecatan. Tiada dialog, tiada rapat. Dinas Pendidikan DKI Jakarta main pecat begitu saja.

"Cleansing" guru honorer. Itulah kebijakan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Kebijakan yang sangat tidak manusiawi. Tiada angin tiada petir, hujan tiba-tiba turun. Tanpa kabar lebih dahulu, ratusan guru honorer diberhentikan begitu saja. Guru yang sudah mencerdaskan bangsa, yang telah berjibaku demi generasi penerus, diperlakukan semengenaskan itu.

Mestinya guru disejahterakan agar mereka bisa mendidik generasi muda dengan tegas dan tuntas. Ini tidak. Alih-alih menyejahterakan guru, Dinas Pendidikan DKI Jakarta justru memberhentikan mereka. Alih-alih kabar kenaikan honor pada awal tahun ajaran baru, mereka justru menerima kado pahit berupa pemberhentian.

Celakanya, kebijakan itu dinamai "cleansing". Tampaknya orang-orang di Disdik Jakarta gagal paham akan arti cleansing. Alih-alih menggunakan bahasa Indonesia, mereka pilih istilah asing dan keliru penggunaan pula. Dinas pendidikan, tetapi tidak tahu berbahasa yang tepat, benar, dan baik.

Alangkah tidak elok kaum Oemar Bakri dikenai istilah "cleansing". Kata "cleansing" merujuk pada 'sesuatu yang hendak dibersihkan atau dibasmi'. Jika diterjemahkan, kata itu berpadan dengan "pembersihan". Atau, "pembasmian".

Dalam bahasa Inggris ada istilah ethnic cleansing atau pembersihan etnis. Istilah itu bermakna 'penghapusan paksa kelompok etnis, ras, atau agama secara sistematis dari suatu wilayah dengan tujuan membuat masyarakat menjadi homogen secara etnis'.

Selain itu, ada pula social cleansing atau pembersihan sosial, yakni pembunuhan atau pemusnahan anggota masyarakat yang dianggap "tidak diinginkan", seperti tunawisma, penjahat, anak jalanan, orang lanjut usia, orang miskin yang lemah dan sakit, serta orang yang cacat.

Selanjutnya, population cleansing atau pembersihan penduduk, yakni penghilangan secara sengaja penduduk dengan ciri-ciri tertentu yang tidak diinginkan, seperti etnis (ethnic cleansing), agama (religious cleansing), kelompok sosial (social cleansing), kelas sosial, kriteria ideologi atau politik, dan lain-lain dari wilayah tertentu

Maka, perkara buruk dan busuk apa yang telah dilakukan oleh ratusan guru honorer itu sehingga mereka dikenai kebijakan "cleansing"? Kenapa pula nama kebijakannya mesti "cleansing"? Apakah tidak bisa menggunakan istilah pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian atau dirumahkan?

Aneh bin ajaib. Dinas Pendidikan, tetapi gagap istilah bahasa Indonesia.

Terlepas dari penggunaan istilah yang sadis dan biadab, apakah para pejabat di Disdik sadar bahwa guru honorer biasanya bekerja maksimal sekalipun upah minimal? Apakah mereka tahu bahwa guru honorer itu bekerja serius kendatipun gajinya kerap bercanda?

Apakah mereka tidak takut kualat memperlakukan guru semenyedihkan itu? Aih!

/2/

Dinas Sosial Kabupaten Cirebon mendadak jadi sorotan. Bukan karena prestasi yang menyala terang benderang, bukan. Pangkal soalnya adalah penamaan aplikasi yang amat buruk, tendensius, dan mesum.

Dinsos Kabupaten Cirebon membuat layanan program penanggulangan kemiskinan dan jaminan kesehatan bagi warga yang kurang mampu. Aplikasi itu dinamai "SIPEPEK". Niat banget bikin nama layanan seperti itu.

Memang dalam bahasa Cirebon, kata pepek atau pepeg bermakna 'komplit, utuh, atau sempurna'. Namun, maknanya berbeda dalam bahsa Indonesia. Kata pepek dalam bahasa Indonesia berarti 'kemaluan perempuan'. Saru sekali.

Meskipun Dinsos Kabupaten Cirebon menyatakan bahwa niat mereka sebatas memberikan layanan yang komplit bagi warga yang kurang mampu, tetapi niat baik itu ternyata tidak diiringi tindakan baik.

Okelah, SIPEPEK merupakan singkatan dari Sistem Pelayanan Program Penanggulangan Kemiskinan dan Jaminan Kesehatan. Akan tetapi, dari ratusan ribu orang di Cirebon, apakah tidak ada seorang pun yang bisa membuat singkatan yang tepat dan efektif?

Akibat penamaan yang nyeleneh, kritik berhamburan di mesia sosial. Bukan apa-apa. Itu mengobjektifikasi perempuan. Sangat misoginis. Pejabat pengusul memiliki otak ngeres, pejabat penentu nama memiliki otak yang saru dan jorok.

Alhasil, SIPEPEK diubah. Sekarang aplikasi layanannya bernama SIPEPEG. Ah, setali tiga uang!

/3/

Dua kasus di atas menunjukkan betapa rendahnya kemampuan berbahasa Indonesia para pejabat pemerintah. Bukan hanya di Jakarta dan Cirebon, gagal paham kata dan istilah bahasa Indonesia terjadi di antero Nusantara.

Pengadilan Negeri Semarang, misalnya. Mereka punya aplikasi bernama SITHOLE alias Sistem Informasi Konsultasi Hukum Online. Aih, tampak seperti hendak pamer "burung". Seperti kaum ekshibisionis yang punya dorongan kuat melakukan ekshibisionisme.

Pemerintah Kabupaten Pamulang punya juga layanan yang namanya cukup berkonotasi buruk dan mengobjektifikasi perempuan. Namanya SISEMOK. Kepanjangannya adalah Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan.

Pemerintah Kota Solo tidak mau ketinggalan. Guna memantau stok kebutuhan pangan dan lain-lain, aplikasi bernama SIMONTOK dilansir. Itu singkatan dari Sistem Monitoring Stok dan Kebutuhan Pangan Pokok.

Belum lagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki aplikasi bernama SISKA KUINTIP; Pemerintah Kabupaten Bogor dengan aplikasi bernama SICANTIK; dan Pemerintah Kota Tegal yang memiliki situs web bernama MAS DEDI MEMANG JANTAN.

Masih banyak nama-nama situsweb atau layanan pemerintah yang niretika. Mereka lupa bahwa ketika memberi nama buat anak-anak mereka selalu dipilihkan nama yang baik, nama berupa doa atau sejarah, nama yang bisa membuat pemiliknya bangga.

Dari kasus-kasus di atas kita dapat mengetahui betapa ceteknya rasa bahasa pejabat pemerintah kita. Kemampuan berbahasa Indonesia mereka sungguh alangkah dangkal. Celakanya, mereka biasanya enggan belajar.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun