Celakalah kita yang hidup di negeri dengan demokrasi beracun ini. Kendati sama-sama mengharamkan politik uang, kandidat yang bertarung di semua jenis kompetisi elektoral sama-sama menggunakan uang untuk memenangkan pertarungan. Tidak ada parpol atau kekuatan politik yang berusaha mengoperasi kanker demokrasi bernama politik uang itu.
Lebih celaka lagi, pemilih selaku pemilik suara seperti membutakan mata dan hati manakala sudah berhadap-hadapan dengan politik uang. Dapat amplop, kelarlah pilihan. Tidak peduli kualitas, kredibilitas, dan kompetensi kandidat asalkan dapat amplop tebal bakalan ditusuk hingga moncos. Koplak memang.
Maka, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika berhala politik uang dan pelet popularitas menyatu. Apalagi jika ditambah dengan dukungan penguasa petahana. Pemilih rasional akan terpojok dengan sendirinya. Ngeri!
Bisakah Popularitas dan Politik Uang Dikalahkan?
Pemilih rasional tahu, tokoh populer belum tentu memenangi kompetisi pilkada Andre Taulany, pada 2010, keok saat maju selaku calon Wakil Walikota Tangsel mendampingi Arsid. Padahal, kala itu Andre didukung Gerindra, Hanura, PPP, dan PBB.
Nasib Ahmad Dhani sama. Saat maju selaku calon Wakil Bupati Bekasi, pada 2017, kemasyhuran Ahmad Dhani selaku pentolan Dewa 19 tidak mampu mengatrol suara. Ia dan pasangannya, Sa'duddin, kalah tarung sekalipun sudah ditopang oleh tiga parpol, yakni Gerindra, Demokrat, dan PKS.
Sosok "Oneng" alias Rieke Diah Pitaloka setali tiga uang dengan Andre dan Dhani. Pada 2013, Oneng maju dalam Pilgub Jawa Barat. Partainya, PDIP, menduetkannya dengan Teten Masduki. Rieke kalah dari pesohor lain, yakni Deddy Mizwar yang mendampingi Ahmad Heryawan.
Dalam kasus Marshel, elite Gerindra pasti sudah mempertimbangkan kemungkinan menang. Kalaupun tanggapan masyarakat Tangsel tetap antipati terhadap Marshel, mereka tidak akan mengubah keputusan. Gendang sudah ditabuh, tak elok wacana pencalonan dicabut kembali.
Bagi rakyat yang memilih secara rasional, tampaknya masih harus menunggu bila akan ada pemilu yang benar-benar berkualitas. Selama partai politik masih tunduk pada pikat popularitas dan takluk pada berhala politik uang, pemilu berkualitas itu masih sebatas khayalan utopis. Itu saja.
Khalayak tahu, Marshel mengaku mampu membeli puluhan video syur dengan duit jutaan. Suara dalam pilkada tentu jauh lebih berharga daripada video cabul. Jika video begituan saja berani ia beli mahal, apalagi suara pemilih yang bisa membuatnya duduk manis di kursi wakil walikota.
Persetan dengan penyusunan dan penyerapan anggaran. Persetan dengan tingkat pendapatan daerah. Persetan dengan pembukaan lapangan kerja. Persetan dengan apa saja yang berhubungan dengan pemilih.