Marshel Widianto, komika yang rasis terhadap bangsa yang terancam genosida dan percaya pada kabar hoaks, tiba-tiba menguasai jagat tren pembicaraan di media sosial. Tidak hanya di IG atau Tiktok, kabar soal Marshel juga tren di Facebook dan X. Pelawak tunggal berambut kribo itu mendadak tenar.
Marshel jadi buah bibir. Kali ini bukan karena pengakuan jujur tentang kelakuannya membeli video syur, bukan karena mangkir syuting dengan alasan sakit padahal syuting di tempat lain pada saat yang sama, melainkan karena ia dicalonkan menjadi kandidat Wakil Walikota Tangerang Selatan pada pilkada serentak 2024.
Adakah partai politik yang sesomplak itu sampai kekurangan kader atau figur yang layak diusung? Ada, Partai Gerindra yang lantang menyatakan akan mengusung Marshel. Partai bentukan Prabowo Subianto itu bak kekurangan, atau malah kehabisan, kader hingga tega mencalonkan Marshel.
Kalau dipikir-pikir, alasan yang membuat Partai Gerindra ngeyel mencalonkan Marshel tampaknya karena popularitas komika yang, syahdan, pada masa bocahnya hidup dalam belitan kemiskinan.
Popularitas memang pelet paling mujarab bagi partai politik di Indonesia. Banyak parpol yang menggadaikan sistem kaderisasi demi membentangkan karpet merah bagi para pesohor di dunia hiburan.
Pelet popularitas itu pula yang naga-naganya membuat petinggi Gerindra malas berpikir panjang. Bayangkan Tangerang Selatan punya 1,7 juta jiwa, tetapi elite partai tidak melihat ada seorang pun yang bisa menyaingi wawasan luas Marshel.
Ingat, alasan lain mengapa harus Marshel karena ia dianggap berwawasan luas. Itu kata petinggi Partai Gerindra.
Rakyat Tangsel Dikorbankan Parpol
Sejauh ini, politik elektoral di negara kita masih menganut paham popularitas alih-alih layak dan kompeten. Seseorang yang tidak layak dan tidak kompeten akan dicalonkan selama dia punya modal populer. Syukur-syukur banyak uang sehingga parpol pengusung memenuhi dalih "pencalonan berbiaya rendah".
Banyak di antara kita yang terbelalak karena popularitas Komeng merontokkan nama-nama besar dunia politik di tengah-tengah pemilih di Jawa Barat. Meskipun tidak jor-joran kampanye, Komeng mendulang jutaan suara untuk menjadi senator. Namun, popularitas Marshel tidak sementerang Komeng. Mereka jauh berbeda.
Mestinya Gerindra, selaku parpol, memberikan pendidikan politik kepada publik. Jika tidak mampu memperlihatkan bagaimana cara mempersiapkan kader, cukup dengan mempertunjukkan bagaimana mengusung calon yang patut.
Jangan-jangan Gerindra menyodorkan kandidat kepada khalayak dengan prinsip egotropik atau demi kepentingan sendiri. Mau kandidat ini ataupun itu, bodoh amat, yang penting menang dan menguntungkan partai. Masa bodoh kredibilitas kandidat, masa bodoh apa kata rakyat.
Cara elite parpol mengumumkan kandidat yang bakal mereka usung memperjelas bahwa mereka memang tidak mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat atau sosiotropik. Di mata elite parpol, rakyat itu sekadar penggembira yang bisa disuruh-suruh, dimobilisasi, didorong masuk bilik suara untuk memilih calon tertentu, setelah itu dilepeh.
Apakah penunjukan seorang kandidat merupakan manifestasi dari suara konstituen pemilih parpol? Tampaknya, tidak. Elite parpol jarang memperhatikan, apalagi mempertimbangkan, teori ekspektasi rasional.
Menurut teori ekspektasi rasional, pemilih menggunakan seluruh informasi yang tersedia untuk membuat perkiraan secara rasional tentang siapa yang patut atau pantas dipilih dan memilih sesuai dengan perkiraan itu (MacKuen, Erikson, dan Stimson, 1992).
Bahkan dengan informasi yang terbatas, jika pemilih benar-benar rasional dalam menentukan siapa yang akan mereka pilih di bilik suara, semua informasi mereka gunakan secara rasional dan mereka wujudkan dalam menentukan pilihan.
Sayangnya, jika kita berbicara tentang karakter pemilih di Indonesia, rasionalitas pemilih takluk di bawah telapak "politik uang". Dengan kata lain, pilihan rasional pemilih bisa berubah dari "siapa yang patut dan pantas dipilih" ke "siapa yang memberikan uang lebih banyak sebelum fajar pemilihan menyingsing".
Maka kloplah parpol dan pemilih, sama-sama memikirkan keuntungan sendiri yang bersifat sesaat atau semenjana. Parpol mengabaikan rasionalitas penentuan calon, pemilih mengabaikan rasinalitas penentuan calon yang dipilih.
Pada titik itulah artis, dengan modal popularitas, menumpang di kendaraan parpol untuk ikut bertarung di pilkada. Kader parpol yang berjuang dari bawah, kecuali kader kutu loncat yang mahir pindah parpol, akhirnya menggigit jari dan mengelus dada karena ditelikung justru oleh partai.
Politik Uang Penyokong Pelet Popularitas
Selain pelet popularitas, demokrasi di negara kita punya penyakit kronis yang tidak bakal sembuh. Penyakit kronis itu bernama "politik uang". Semua parpol, termasuk kader dan simpatisannya, sama-sama mengharamkan politik uang karena merusak sistem pemilu, mendistorsi hasil pemilu, dan meracuni otak pemilih.
Celakalah kita yang hidup di negeri dengan demokrasi beracun ini. Kendati sama-sama mengharamkan politik uang, kandidat yang bertarung di semua jenis kompetisi elektoral sama-sama menggunakan uang untuk memenangkan pertarungan. Tidak ada parpol atau kekuatan politik yang berusaha mengoperasi kanker demokrasi bernama politik uang itu.
Lebih celaka lagi, pemilih selaku pemilik suara seperti membutakan mata dan hati manakala sudah berhadap-hadapan dengan politik uang. Dapat amplop, kelarlah pilihan. Tidak peduli kualitas, kredibilitas, dan kompetensi kandidat asalkan dapat amplop tebal bakalan ditusuk hingga moncos. Koplak memang.
Maka, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika berhala politik uang dan pelet popularitas menyatu. Apalagi jika ditambah dengan dukungan penguasa petahana. Pemilih rasional akan terpojok dengan sendirinya. Ngeri!
Bisakah Popularitas dan Politik Uang Dikalahkan?
Pemilih rasional tahu, tokoh populer belum tentu memenangi kompetisi pilkada Andre Taulany, pada 2010, keok saat maju selaku calon Wakil Walikota Tangsel mendampingi Arsid. Padahal, kala itu Andre didukung Gerindra, Hanura, PPP, dan PBB.
Nasib Ahmad Dhani sama. Saat maju selaku calon Wakil Bupati Bekasi, pada 2017, kemasyhuran Ahmad Dhani selaku pentolan Dewa 19 tidak mampu mengatrol suara. Ia dan pasangannya, Sa'duddin, kalah tarung sekalipun sudah ditopang oleh tiga parpol, yakni Gerindra, Demokrat, dan PKS.
Sosok "Oneng" alias Rieke Diah Pitaloka setali tiga uang dengan Andre dan Dhani. Pada 2013, Oneng maju dalam Pilgub Jawa Barat. Partainya, PDIP, menduetkannya dengan Teten Masduki. Rieke kalah dari pesohor lain, yakni Deddy Mizwar yang mendampingi Ahmad Heryawan.
Dalam kasus Marshel, elite Gerindra pasti sudah mempertimbangkan kemungkinan menang. Kalaupun tanggapan masyarakat Tangsel tetap antipati terhadap Marshel, mereka tidak akan mengubah keputusan. Gendang sudah ditabuh, tak elok wacana pencalonan dicabut kembali.
Bagi rakyat yang memilih secara rasional, tampaknya masih harus menunggu bila akan ada pemilu yang benar-benar berkualitas. Selama partai politik masih tunduk pada pikat popularitas dan takluk pada berhala politik uang, pemilu berkualitas itu masih sebatas khayalan utopis. Itu saja.
Khalayak tahu, Marshel mengaku mampu membeli puluhan video syur dengan duit jutaan. Suara dalam pilkada tentu jauh lebih berharga daripada video cabul. Jika video begituan saja berani ia beli mahal, apalagi suara pemilih yang bisa membuatnya duduk manis di kursi wakil walikota.
Persetan dengan penyusunan dan penyerapan anggaran. Persetan dengan tingkat pendapatan daerah. Persetan dengan pembukaan lapangan kerja. Persetan dengan apa saja yang berhubungan dengan pemilih.
Kandidat jika sudah terpilih memang lumrah lupa kepada pemilihnya. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H