Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Marshel Widianto, Pelet Popularitas, dan Politik Uang

23 Juni 2024   05:00 Diperbarui: 23 Juni 2024   05:42 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mestinya Gerindra, selaku parpol, memberikan pendidikan politik kepada publik. Jika tidak mampu memperlihatkan bagaimana cara mempersiapkan kader, cukup dengan mempertunjukkan bagaimana mengusung calon yang patut.

Jangan-jangan Gerindra menyodorkan kandidat kepada khalayak dengan prinsip egotropik atau demi kepentingan sendiri. Mau kandidat ini ataupun itu, bodoh amat, yang penting menang dan menguntungkan partai. Masa bodoh kredibilitas kandidat, masa bodoh apa kata rakyat.

Cara elite parpol mengumumkan kandidat yang bakal mereka usung memperjelas bahwa mereka memang tidak mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat atau sosiotropik. Di mata elite parpol, rakyat itu sekadar penggembira yang bisa disuruh-suruh, dimobilisasi, didorong masuk bilik suara untuk memilih calon tertentu, setelah itu dilepeh.

Apakah penunjukan seorang kandidat merupakan manifestasi dari suara konstituen pemilih parpol? Tampaknya, tidak. Elite parpol jarang memperhatikan, apalagi mempertimbangkan, teori ekspektasi rasional.

Menurut teori ekspektasi rasional, pemilih menggunakan seluruh informasi yang tersedia untuk membuat perkiraan secara rasional tentang siapa yang patut atau pantas dipilih dan memilih sesuai dengan perkiraan itu (MacKuen, Erikson, dan Stimson, 1992).

Bahkan dengan informasi yang terbatas, jika pemilih benar-benar rasional dalam menentukan siapa yang akan mereka pilih di bilik suara, semua informasi mereka gunakan secara rasional dan mereka wujudkan dalam menentukan pilihan.


Sayangnya, jika kita berbicara tentang karakter pemilih di Indonesia, rasionalitas pemilih takluk di bawah telapak "politik uang". Dengan kata lain, pilihan rasional pemilih bisa berubah dari "siapa yang patut dan pantas dipilih" ke "siapa yang memberikan uang lebih banyak sebelum fajar pemilihan menyingsing".

Maka kloplah parpol dan pemilih, sama-sama memikirkan keuntungan sendiri yang bersifat sesaat atau semenjana. Parpol mengabaikan rasionalitas penentuan calon, pemilih mengabaikan rasinalitas penentuan calon yang dipilih.

Pada titik itulah artis, dengan modal popularitas, menumpang di kendaraan parpol untuk ikut bertarung di pilkada. Kader parpol yang berjuang dari bawah, kecuali kader kutu loncat yang mahir pindah parpol, akhirnya menggigit jari dan mengelus dada karena ditelikung justru oleh partai.

Politik Uang Penyokong Pelet Popularitas

Selain pelet popularitas, demokrasi di negara kita punya penyakit kronis yang tidak bakal sembuh. Penyakit kronis itu bernama "politik uang". Semua parpol, termasuk kader dan simpatisannya, sama-sama mengharamkan politik uang karena merusak sistem pemilu, mendistorsi hasil pemilu, dan meracuni otak pemilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun