Girang menyela, "Kamu kelebihan waktu, tetapi kehabisan uang!"
Mereka serempak terkekeh.
Bengal memperlihatkan mimik serius. "Coba kaulihat pintu gerbang itu, Girang." Melihat Girang menatap ke arah gerbang, mata Bengal menyipit. "Gerbang itu kaugembok. Di dalam pagar, ada pos monyet yang dihuni penjaga. Rumahmu berpintu. Terkunci rapi. Kamarmu berpintu. Terkunci rapi juga. Lemarimu berpintu. Terkunci rapi juga. Emas dan berlianmu kausimpan di laci lemari yang terkunci pula. Boleh jadi di brankas besi yang terkunci pula. Hartamu kaujaga dengan baik, tetapi kamu gagal. Ya, gagal total."
"Gara-gara?"
Bengal menatap Girang. "Kamu tidak mampu menjaga waktu, padahal waktu jauh lebih berharg dari emas atau apa pun. Emas yang hilang bisa kaucari lagi, waktu yang berlalu mustahil kautemukan lagi."
"Lantas?"
"Kamu kehilangan waktu untuk keluarga dan kenalanmu, Girang. Waktumu disita oleh pekerjaan dan atasan. Kamu terpenjara. Kaupikir uang bisa membuat anak dan istrimu bahagia, padahal keliru. Mereka kini di rumahku. Mereka lebih ingin merasakan kasur jerami alih-alih tilam empuk yang berduri di rumah ini."
Girang terperenyak. Matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Bengal."
"Tidak usah berterima kasih," kata Bengal.
"Harus!"
"Kita bersahabat."