/1/
Tersebutlah kisah seekor jakal bernama Girang. Tubuhnya ramping. Dari jauh seperti anjing, dari dekat seperti serigala. Rambutnya pendek dan kasar. Kulit tubuhnya cokelat kekuning-kuningan.
Semasa remaja hingga kuliah, Girang sangat menyenangkan. Ia selalu tersenyum riang. Itu sebabnya ia dinamai Girang. Ia incaran kalangan jakal jantan untuk dijadikan teman. Ia buruan kaum jakal betina untuk dijadikan gebetan. Ia diincar banyak orangtua jakal betina karena disebut-sebut sebagai calon menantu idaman.
Selepas kuliah di Institut Hutan Rimba, kehidupan Girang berubah. Hampir tiga ratus enam puluh derajat. Hampir berubah total. Tiada waktu lagi untuk kongko-kongko di kedai bersama konco-konconya. Tiada waktu lagi untuk bercakap-cakap dengan sanak kerabat.
Girang benar-benar sibuk. Sehari-hari ia kehabisan waktu untuk mendampingi Presiden Singa Auman. Semasa Pemilihan Presiden di Republik Hewaniah, Girang menjadi Jubir Capres Singa Auman. Otak encernya membuat calon dukungannya menduduki kursi RH 01.
Sekarang, Girang banyak kehilangan waktu. Ia sibuk saban hari di Gedung Kelabu. Menemani presiden, mengawal tamu negara, merumuskan kebijakan, merancang anggaran. Ia kehilangan waktu. Benar-benar kehilangan waktu.
/2/
Alkisah pada suatu pagi di akhir pekan yang cerah, Girang sedang bertamasya di Taman Jomlo. Ia menemani putrinya, Pijar, menikmati akhir pekan di taman. Mereka asyik bermain ludo.
Ketika tiba giliran Girang untuk melangkah, gawai berdering. Ada notifikasi surel. Saat ia gulir layar gawai, sebuah surel dari Menteri Kehakiman muncul. Isinya menegangkan. Pemberitahuan tentang tenggat penyusunan Rancangan Undang-Undang Kebinatangan yang berakhir besok.
Bersamaan dengan itu, sebuah pesan pendek dari sopirnya yang mengabarkan bahwa mobil yang ia kendarai mogok di depan sekolah putranya sehingga ia mesti meninggalkan mobil di sana agar bisa naik taksi ke rumah.
Pijar mendeham-deham ketika bank memberikan informasi melalui ponsel cerdas bahwa kartu kredit Girang terkena biaya tambahan. Dan, ia harus menatap wajah Pijar, putrinya, yang mulai dongkol karena ia tidak segera bermain, padahal sudah gilirannya untuk menjatuhkan kartu.
"Ayah," ujar Pijar mendesah, "Pijar boleh bertanya?"
Buru-buru Girang menaruh gawai di pahanya. "Silakan, Nak."
"Apabila makanan yang bisa menghidupkan kebahagiaan keluarga adalah Waktu, lantas bagaimana caranya kita bisa memastikan kebahagiaan keluarga kita mendapatkan makanannya?"
/3/
Setiba di rumah, halaman tampak senyap. Tidak ada Binar, istri Girang, di sana. Pada hari-hari biasa, tiap menjelang siang, Binar biasanya berada di halaman. Ia duduk di sela rumpun bunga matahari dan melati, bersandar ke batang ketapang, dan melahap sebuah buku sebelum akhirnya tertidur karena elusan angin.
Girang langsung ke teras. Duduk di kursi, menyandarkan letih, dan mendengkus penuh penyesalan. Ia baru saja melukai hati putrinya alih-alih menyenangkannya. Ketika memejamkan mata, kupingnya mendengar suara istrinya. Seperti tengah menelepon seseorang.
"Suami saya selalu terpaku pada gawai atau komputernya," kata istrinya dengan nada kesal, "sedangkan saya seperti pemain sirkus yang kelimpungan menyiapkan segala kebutuhan anak-anak. Itu pun sembari menjemur cucian."
Terjeda sejenak.
Lamat-lamat ia dengar suara lawan bicara istrinya, tetapi tidak jelas siapa orangnya dan apa yang tengah ia katakan. Â
Lalu, istrinya berkata lagi, "Suami saya tengah menikmati kopi hitam pekat sembari membaca berita daring di gawainya ketika saya menyiapkan makan siang untuk anak-anak, lalu membantu putri kami merapikan tas dan pakaian sekolah, lalu menemani putra kami merampungkan 'pekerjaan rumah'."
Terjeda sejenak lagi, terdengar suara lamat-lamat dari telepon genggam istrinya lagi, lalu hening selama beberapa jenak.
"Sore hari masih begitu," ujar Binar memecah keheningan. "Suami saya duduk-duduk di teras ketika saya tengah menutup jendela, merapikan gorden, dan menyiapkan meja makan untuk acara makan malam bersama." Binar berhenti sejenak, terdengar helaan napas yang panjang dan berat. "Suami saya masuk ke ruang keluarga, menyetel televisi, menyimak berita, dan sama sekali tidak peduli pada sisik-melik urusan rumah tangga. Ia tertawa di depan televisi ketika saya keringatan sampai baju di bagian belakang lengket ke kulit punggung."Â
Terdengar tapak langkah istrinya, seperti berjalan ke kamar tidur, tetapi sambil menelepon. "Suami saya memang tidak sengaja melakukannya. Bukan pula karena ingin membuat saya kesal, bukan. Ia hanya tidak peduli."
Sebuah batu alam sebesar kerbau seperti baru saja terjatuh puncak atap rumah, menggelinding dan menimpa plafon, lalu jatuh menindih pundak dan dada Girang hingga ia kesulitan bernapas. Beberapa saat lalu ia dikritik oleh putrinya, sekarang ia dikuliti oleh istrinya. Ia merasa gagal menjadi ayah dan suami yang baik.
Selama ini ia selalu berpikir bahwa ia telah menjalani kehidupan rumah tangga yang bertumpu pada nilai kesetaraan. Ternyata belum. Ternyata masih jauh panggang dari api.
/4/
Ketika Girang terbangun dari tidur tak disengaja di beranda rumahnya, ia melihat rumah senyap. Laksana kuburan saja. Kepalanya pengar. Ia bermimpi. Mimpi buruk sekali. Belum pulih dari pengar akibat mimpi dan bangun tidur buru-buru, Bengal muncul di gerbang.
Bengal adalah sahabat Girang sejak kecil. Mereka duduk sebangku di sekolah dasar, pisah kelas semasa sekolah menengah pertama, sebangku lagi semasa sekolah menengah atas, dan pisah semasa kuliah.
Girang menyambut Bengal dengan riang. "Ada angin apa ini?"
"Angin rindu." Bengal terkekeh. "Sendirian?"
Girang mengangguk.
"Siapa pun yang kita cintai," tutur Bengal tanpa permisi, "tidak selayaknya menjadi pihak yang menerima sisa-sisa waktu kita. Mereka berhak mendapatkan keuntungan dengan cara kita sengaja meluangkan waktu untuk bersama mereka melewati hari, baik hari yang menyenangkan maupun hari yang menyakitkan."
"Maksudmu?"
"Dalam kehidupan kita," kata Bengal dengan nada pelan, "siapa pun yang kita cintai berhak mendapatkan yang lebih baik. Kalau kita tidak mahir meluangkan waktu, siapa pun yang kita cintai itu hanya akan mendapatkan sisa-sisa waktu. Itu maksud pernyataanku, Girang!"
"Bukan begitu, Bengal!"
"Lantas?"
"Mengapa kamu tiba-tiba mengulas perkara waktu dan siapa pun yang kita cintai?"
Bengal mengerutkan kening. "Tidak boleh?"
"Bukan begitu," sergah Girang, "rasa-rasanya saya kausindir!"
"Baguslah kalau kamu masih peka!"
"Sentimen!"
"Aku serius," sahut Bengal. "Semenjak kamu masuk ke Gedung Kelabu, kamu bertambah makmur. Kamu kelebihan uang, tetapi kehabisan waktu."
Girang menyela, "Kamu kelebihan waktu, tetapi kehabisan uang!"
Mereka serempak terkekeh.
Bengal memperlihatkan mimik serius. "Coba kaulihat pintu gerbang itu, Girang." Melihat Girang menatap ke arah gerbang, mata Bengal menyipit. "Gerbang itu kaugembok. Di dalam pagar, ada pos monyet yang dihuni penjaga. Rumahmu berpintu. Terkunci rapi. Kamarmu berpintu. Terkunci rapi juga. Lemarimu berpintu. Terkunci rapi juga. Emas dan berlianmu kausimpan di laci lemari yang terkunci pula. Boleh jadi di brankas besi yang terkunci pula. Hartamu kaujaga dengan baik, tetapi kamu gagal. Ya, gagal total."
"Gara-gara?"
Bengal menatap Girang. "Kamu tidak mampu menjaga waktu, padahal waktu jauh lebih berharg dari emas atau apa pun. Emas yang hilang bisa kaucari lagi, waktu yang berlalu mustahil kautemukan lagi."
"Lantas?"
"Kamu kehilangan waktu untuk keluarga dan kenalanmu, Girang. Waktumu disita oleh pekerjaan dan atasan. Kamu terpenjara. Kaupikir uang bisa membuat anak dan istrimu bahagia, padahal keliru. Mereka kini di rumahku. Mereka lebih ingin merasakan kasur jerami alih-alih tilam empuk yang berduri di rumah ini."
Girang terperenyak. Matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Bengal."
"Tidak usah berterima kasih," kata Bengal.
"Harus!"
"Kita bersahabat."
"Sejak kapan persahabatan mengharamkan ucapan terima kasih?"
"Istri dan anakmu di rumahku," sela Bengal. "Jemputlah."
"Sekali lagi, terima kasih."
Bengal mengangguk. "Ada tiga unsur utama pertemanan ala William Rawlins."
"Profesor di bidang komunikasi intrapersonal di Universitas Ohio itu?"
Bengal mengangguk lagi. "Saya sebutkan?"
Girang mengangguk.
"Tiga unsur utama pertemanan adalah seseorang yang bisa diajak bersenang-senang, seseorang yang mau diajak berbicara, seseorang yang sudi menjadi tempat bergantung." Bengal berhenti sejenak, mengambil jeda, lalu berkata dalam nada tegas. "Seseorang yang bisa diajak bersenang-senang adalah teman yang punya waktu dan berkenan menarik kita dari kesedihan. Ketika hidup kita penuh tekanan, ketika masalah demi masalah menghantam tanggul ketabahan kita, saat itulah kita butuh seseorang yang dapat diajak bersenang-senang."
Girang mengangguk. "Kalau yang mau diajak berbicara?"
"Seseorang yang mau diajak berbicara adalah teman yang fasih mendengarkan dan arif menyatakan sesuatu," tutur Bengal. "Ketika kita butuh teman bercakap-cakap soal karier yang mandek, cinta yang kandas, atau harapan yang buntu, saat itulah ia duduk di sisi kita untuk menyimak dan menuturkan saran."
"Bagaimana dengan teman tempat bergantung?"
Girang tersenyum. "Seperti aku." Ia terkekeh. "Seseorang yang sudi menjadi tempat bergantung adalah teman yang bisa diandalkan dalam situasi genting, yang bisa menjaga rahasia paling buruk, yang bisa melindungi pertemanan, yang mau membuat temannya bahagia karena ia akan bahagia apabila ia melihat temannya bahagia."
"Aku tahu," ujar Girang.
"Waktu terus berlalu, kebiasaan bisa saja berganti-ganti, tetapi tipe sahabat yang dibutuhkan dalam hidup akan selalu sama."
"Aku tahu, Bengal."
"Benda-benda berharga milikmu kaujaga dan kaulindungi mati-matian. Mestinya begitu pula dengan waktu, Girang. Kamu harus menjaga dan melindungi waktumu dengan sebaik-baiknya. Jangan abaikan waktu, sebab ia adalah milikmu yang sangat berharga." [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H