Terjeda sejenak lagi, terdengar suara lamat-lamat dari telepon genggam istrinya lagi, lalu hening selama beberapa jenak.
"Sore hari masih begitu," ujar Binar memecah keheningan. "Suami saya duduk-duduk di teras ketika saya tengah menutup jendela, merapikan gorden, dan menyiapkan meja makan untuk acara makan malam bersama." Binar berhenti sejenak, terdengar helaan napas yang panjang dan berat. "Suami saya masuk ke ruang keluarga, menyetel televisi, menyimak berita, dan sama sekali tidak peduli pada sisik-melik urusan rumah tangga. Ia tertawa di depan televisi ketika saya keringatan sampai baju di bagian belakang lengket ke kulit punggung."Â
Terdengar tapak langkah istrinya, seperti berjalan ke kamar tidur, tetapi sambil menelepon. "Suami saya memang tidak sengaja melakukannya. Bukan pula karena ingin membuat saya kesal, bukan. Ia hanya tidak peduli."
Sebuah batu alam sebesar kerbau seperti baru saja terjatuh puncak atap rumah, menggelinding dan menimpa plafon, lalu jatuh menindih pundak dan dada Girang hingga ia kesulitan bernapas. Beberapa saat lalu ia dikritik oleh putrinya, sekarang ia dikuliti oleh istrinya. Ia merasa gagal menjadi ayah dan suami yang baik.
Selama ini ia selalu berpikir bahwa ia telah menjalani kehidupan rumah tangga yang bertumpu pada nilai kesetaraan. Ternyata belum. Ternyata masih jauh panggang dari api.
/4/
Ketika Girang terbangun dari tidur tak disengaja di beranda rumahnya, ia melihat rumah senyap. Laksana kuburan saja. Kepalanya pengar. Ia bermimpi. Mimpi buruk sekali. Belum pulih dari pengar akibat mimpi dan bangun tidur buru-buru, Bengal muncul di gerbang.
Bengal adalah sahabat Girang sejak kecil. Mereka duduk sebangku di sekolah dasar, pisah kelas semasa sekolah menengah pertama, sebangku lagi semasa sekolah menengah atas, dan pisah semasa kuliah.
Girang menyambut Bengal dengan riang. "Ada angin apa ini?"
"Angin rindu." Bengal terkekeh. "Sendirian?"
Girang mengangguk.