Ketiga, menjauhi penjara kerangka. Kalaupun kamu terbiasa menulis dengan menggunakan kerangka, jadikan itu sebatas rambu awal. Selama menulis, abaikan. Biarkan intuisi menuntunmu ke jalan-jalan lengang tempat kamu dapat menemukan pola, mendeteksi sifat, mencerna makna, dan melihat hubungan.
Keempat, menjauhi gairah menyunting. Mengetiklah secepat mungkin tanpa hasrat berhenti atau niat memperbaiki. Salah huruf, biarkan saja. Salah kata, biarkan dulu. Tanda baca, abaikan saja. Komposisi paragraf, abaikan dulu. Pendek kata, menulis dengan cepat tanpa berhenti.
Kelima, menjauhi ambisi berlebih. Kadang-kadang yang memberati pikiran kita karena sejak awal kita dihantui bayangan tulisan saya harus begini atau begitu. Jauhkan ambisi konyol dari kepala, sebab kadang itulah penyebab impotensi gagasan.
Lima kiat di atas sebenarnya tidak mudah. Yang membuatnya menjadi sulit adalah kebiasaan kita melepas rasa malas dari kerangkengnya. Akhirnya, rasa malas itu menjajah dan membelenggu hati. Kalau sudah malas, boro-boro menulis, makan saja pasti sulit.
***
BAKAT? Ya. Boleh jadi kita memilih bakat sebagai kambing hitam. Opa Mihaly Csikszentmihalyi, psikolog yang rajin menulis, bakal mengomeli kamu sepanjang hari jika berkilah kamu tidak punya bakat. Kawan, bakat hanya setitik nila dari sebelanga susu.
Jadi, ambil laptop begitu ide melintas. Mengetiklah dengan cepat, hindari niat berhenti karena ingin memperbaiki, terus begitu hingga tulisan kelar. Setelah selesai, barulah kamu kembali ke alinea pertama. Perbaiki yang rusak, tambal yang bolong, jahit yang sobek.
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H