Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kiat Menulis dalam Keadaan Mengalir

29 Januari 2021   15:15 Diperbarui: 29 Januari 2021   16:39 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menulis itu bersenang-senang (Ilustrasi: thewritelife.com)

ADA orang yang gairah menulisnya sudah menyatu dengan dirinya, sama seperti hasrat makan dan minum. Kata Engkong Pennebaker, tidak menulis setara dengan tidak makan. Yang satu bikin jiwa lapar, satunya lagi bikin raga lapar.

Ada orang yang keinginan menulisnya seperti nyala api yang berkobar-kobar. Hari ini bergairah, keesokan harinya kehilangan semangat. Kata Eyang Tjiptadinata, menulis dengan gaya lumba-lumba--timbul tenggelam sesuka hati.

Ada orang yang sangat ingin menulis setiap hari, tidak peduli menulis itu akan membahagiakan atau membawa manfaat baginya. Kata Opa Csikszentmihalyi, biarkan mengalir saja--tidak peduli menulis itu menyehatkan batinmu atau menggendutkan rekeningmu.

Kamu termasuk kaum yang mana? Apakah kaum laparan yang merasa belingsatan kalau tidak menulis dalam sehari? Apakah kaum lumba-lumba yang tulisannya timbul tenggelam sesuka hati? Apakah kaum intuitif yang sudah kehilangan penjara mental soal mengapa harus menulis?

Silakan mengobrol dengan hati Anda.

***

JIKA kamu termasuk orang yang bercita-cita menulis setiap hari, memperlakukan menulis setara dengan makan dan minum, atau merasa lapar batin jika tidak menulis dalam sehari, kamu tentu butuh kehadiran ide tanpa pandang waktu.

Kadang kepala dipenuhi pertanyaan “apa yang akan kutulis hari ini” atau “tema apa yang cocok kuudar sekarang”. Lalu, buru-buru kaubuka media sosial untuk memburu ide. Ada juga yang menonton film, membaca buku, memirsa berita, atau mendengarkan teman curhat.

Pendek kata, orang yang sudah tiba pada tahap lapar batin jika tidak menulis pasti berusaha keras untuk menangguk dan mereguk ide dari mana pun asalnya. Saya juga begitu. Satu hari tidak menulis bakal merintih hati saya.

Mau tidak mau, kepala saya mesti menjadi sumur ide dengan mata air yang tidak boleh berhenti memancur. Bermodal naluri kekepoan, tatkala esai kepenulisan saya mulai kering ide, saya aduk-aduk artikel Engkong Felix. Ketemulah ide tentang intuisi bagi penulis.

Nah, artikel ini merupakan sekuel ketiga dari serial intuisi. Sekuel perdana: Tiga Strategi Cespleng Menggali Intuisi. Sekuel kedua: Tahukah Kamu, Kuasa Intuisi bagi Penulis? Maka dari itu, Kawan, saya enggan membunuh hasrat kepo di tubuh saya.

Kembali pada kebutuhan rohaniah penulis yang lapar batin jika tidak menulis dalam sehari, ide atau tema saja belum cukup. Butuh pula keahlian meracik ide agar tulisan lekas selesai dan tak kehilangan gereget. Keahlian itu saya sebut “menulis dalam keadaan mengalir”.

***

APAKAH definisi keadaan mengalir dalam dunia kepenulisan? Saya jawab ringkas saja. Keadaan mengalir saat menulis adalah kondisi ketika ide sudah tersua dan kata demi kata mengalir begitu saja. Jari menari, otak berkelana, mata jarang berkedip, eh, tulisan jadi.

Kadang kala akhir dari menulis dalam keadaan mengalir itu adalah kejutan membahagiakan yang membuat hati berteriak “aduhai, bisa seperti ini”. Temuan tidak terduga saat kita larut dalam keadaan mengalir ketika menulis itulah yang, dalam istilah Engkong Felix, disebut serendipitas.

Jika sudah begitu, lapar raga tidak berasa. Pinggang yang cenat-cenut selama duduk mengetik pun raib entah ke mana. Pusing yang sempat mengendap di kepala akhirnya luluh sendiri. Kantuk yang sempat singgah diusir oleh mata yang tiba-tiba membelalak.

Sayang sekali, menulis dalam keadaan mengalir itu butuh proses. Jampi-jampi Daeng Rudy tidak berlaku. Cermin sakti Om Katedrarajawen pun tiada berdaya. Pendek kata, tidak dapat kita raih dengan mudah, tidak seperti memetik bunga di pagar orang--bunga dapat, teriakan dapat.

Keadaan mengalir itu lahir dari kebiasaan menantang diri untuk menulis secara intuitif. Ketemu ide, ambil laptop, biarkan jemari dan otak membangun kerja sama yang laras dan padu, lantas segalanya terjadi dengan sendirinya.

Persis ketika saya hendak mengisi pelatihan, seminar, atau lokakarya. Sebelum mengucap salam, saya diserang grogi dan demam panggung. Sekali berbicara, saya sanggup berdiri di hadapan audiens selama berjam-jam dengan kata-kata yang tersusun rapi dan dinikmati oleh penghadir.

Dari mana asalnya mukjizat itu? Pembiasaan. Saya membiasakan diri. Saya memaksa diri. Saya menantang diri untuk terbiasa memberikan umpan balik yang cepat. Saya hanya menyebut satu alamat, Om Googel Map langsung menunjukkan lokasi. Begitulah ujung dari proses panjang dan parah itu.

Keadaan mengalir mungkin terjadi jika ada keseimbangan antara tingkat keterampilan menulis dengan level tantangan gagasan. Keadaan mengalir mungkin terjadi selama kekayaan wawasan dan kosakata setara dengan kenikmatan menulis.

Saya percaya bahwa Anda bisa memahami dua alinea sebelum ini, sebab Anda bukanlah orang bodoh.

***

APA yang bisa Anda lakukan guna menuju keadaan mengalir dalam menulis?

Pertama, menjauhi aturan. Jangan pikirkan kaidah kepenulisan saat ide baru merasuki hati. Tulis dulu semuanya. Pikiran yang terpacak pada kaidah ejaan, salah tik, teori wacana, ataupun perkara lain tentang kebahasaan yang dapat memenjara otak Anda.

Kedua, menjauhi keruwetan pikiran. Banyak pikiran atau pikiran seperti benang kusut dan basah akan menyulitkan munculnya keadaan mengalir saat menulis. Berjuanglah, ya, berjuang agar tetap dalam kondisi santai.

Ketiga, menjauhi penjara kerangka. Kalaupun kamu terbiasa menulis dengan menggunakan kerangka, jadikan itu sebatas rambu awal. Selama menulis, abaikan. Biarkan intuisi menuntunmu ke jalan-jalan lengang tempat kamu dapat menemukan pola, mendeteksi sifat, mencerna makna, dan melihat hubungan.

Keempat, menjauhi gairah menyunting. Mengetiklah secepat mungkin tanpa hasrat berhenti atau niat memperbaiki. Salah huruf, biarkan saja. Salah kata, biarkan dulu. Tanda baca, abaikan saja. Komposisi paragraf, abaikan dulu. Pendek kata, menulis dengan cepat tanpa berhenti.

Kelima, menjauhi ambisi berlebih. Kadang-kadang yang memberati pikiran kita karena sejak awal kita dihantui bayangan tulisan saya harus begini atau begitu. Jauhkan ambisi konyol dari kepala, sebab kadang itulah penyebab impotensi gagasan.

Lima kiat di atas sebenarnya tidak mudah. Yang membuatnya menjadi sulit adalah kebiasaan kita melepas rasa malas dari kerangkengnya. Akhirnya, rasa malas itu menjajah dan membelenggu hati. Kalau sudah malas, boro-boro menulis, makan saja pasti sulit.

***

BAKAT? Ya. Boleh jadi kita memilih bakat sebagai kambing hitam. Opa Mihaly Csikszentmihalyi, psikolog yang rajin menulis, bakal mengomeli kamu sepanjang hari jika berkilah kamu tidak punya bakat. Kawan, bakat hanya setitik nila dari sebelanga susu.

Jadi, ambil laptop begitu ide melintas. Mengetiklah dengan cepat, hindari niat berhenti karena ingin memperbaiki, terus begitu hingga tulisan kelar. Setelah selesai, barulah kamu kembali ke alinea pertama. Perbaiki yang rusak, tambal yang bolong, jahit yang sobek.

Salam takzim, Khrisna Pabichara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun