Brak. Pintu tergelepar dan menggelosor di lantai diterjang tendangan Bengal. "Bayar!"
Sablak menarik napas. "Iya, Bang. Saya telepon adik dulu buat pinjam uang."
"Begitu, dong." Bengal duduk di kursi. Kakinya selonjoran di atas meja. "Jangan samakan aku dengan Tengil. Dia bisa kaubodohi. Aku?" Matanya seperti singa beranak. "Jangan coba-coba!"
Sablak buru-buru mengirim wasap kepada adiknya. Kebetulan adiknya sedang pulang kampung untuk mencoblos di TPS di samping rumah Sablak. Begitu derap sepatu adiknya terdengar dari pekarangan, Sablak bergegas ke pintu. Gagah, adik bungsu Sablak, memasuki ruang tamu dengan tubuh berbalut seragam.
Bengal terkesima. Hilang nyali. Ia tergeragap. "Kaubilang mau telepon adikmu minta uang...."
"Ya," kata Sablak, "saya minta uang buat memperbaiki pintu. Anda boleh ikut ke kantor polisi bersama kami. Anda baru saja melakukan tindakan kekerasan. Perbuatan tidak menyenangkan. Selain itu, Anda merusak pilkadu dengan politik uang."
Bengal seperti karung basah terjatuh ke tanah. Ia bersujud-sujud meminta maaf. Sablak cengar-cengir.
***
SABLAK menunggu kedatangan Degil. Ia tahu bakal ditagih karena tidak memilih Paslon Cetek. Ia tahu, warga dukuh yang lain sudah setor foto surat suara. Aturan tidak boleh memotret di bilik suara memang dibuat untuk dilanggar, sama seperti aturan-aturan lain di Republik Sukabacot.
Namun, hingga senja pamit kepada bumi batang hidung Degil tidak muncul. Barangkali tokoh masyarakat yang gemar menyunat bantuan sosial itu sudah mendengar kasak-kusuk tentang Bengal yang mengompol karena takut diseret ke kantor polisi.
Rumah-rumah warga sudah banyak yang berantakan gara-gara sepakan dan tonjokan Bengal. Tengil dan Degil sama saja. Main kepalan, main pukul. Warga memilih karena ketakutan, bukan lantaran benar-benar ingin menggunakan hak suara.