PUKUL sepuluh. Sablak menyeka keringat di jidatnya. Upacara buang hajat berlangsung lancar tanpa kendala. Ia terkekeh-kekeh mengingat roman judes Tengil. Seluruh stasiun televisi kompak menyiarkan berita tentang Pemilihan Kepala Dukuh (Pilkadu) serempak di Republik Sukabacot.
Korona bukan halangan bagi Komisi Pemungutan Suara. Pilkadu tetap diselenggarakan takpeduli nyawa taruhannya. Hak hidup dikalahkan oleh hak suara. Sablak termasuk salah seorang yang menolak Pilkadu, tetapi penolakan itu sia-sia belaka.
Suara rakyat sudah bukan suara Tuhan. Suara rakyat sama sekali tidak didengarkan oleh kaum elite di Republik Sukabacot. Wakil rakyat lebih mementingkan suara partai. Pemerintah menutup telinga. Tokoh yang sebelum menjadi menteri doyan mengkritik kebijakan, sekarang mingkem. Tidak bersuara.
Sablak menggeleng-geleng. Ia kesal. Ia matikan televisi. Ingatannya mundur ke pukul lima. Tadi subuh Tengil mendatangi rumahnya. Sebuah amplop berisi uang sejuta untuk dua suara. Sablak dan istrinya diminta memilih Paslon Rese.
Dua jam sebelumnya, Bengal meninggalkan beranda rumah Sablak. Ia datang bersama amplop berisi uang sebanyak sejuta lima ratus ribu. Ongkos jalan ke bilik suara, kata Bengal. Hanya saja, ada catatan penyerta. Sablak dan istri mesti memilih Paslon Sabu (Saru-Busa).
Tujuh jam sebelum Bengal mendatanginya, Sablak baru saja menerima amplop tebal berisi uang sebanyak dua juta. Degil, Ketua Timses Paslon Cetek (Fache-Butek), menegaskan berkali-kali agar ia dan istrinya tidak memilih paslon lain.
Gara-gara timses, Sablak terpaksa belajar menghitung waktu. Untung ia sering mendampingi Si Sulung belajar matematika selama masa pagebluk. Kalau tidak, ia tidak bisa menghitung selisih antara kedatangan Tengil, Bengal, dan Degil.
Selagi pikiran Sablak mengelana, Bengal sudah berdiri di ambang pintu. Wajahnya merah padam. Tinjunya terkepal. Urat-urat di lehernya menonjolkan diri. Tanpa salam dan basa-basi, ia tinju pintu. Bengal memang tersohor sebagai centeng kelas atas. Sekali tonjok, pintu dari tripleks pun bolong. "Bajingan kau, Blak!"
"Sabar, Bang. Main tonjok aja!"
"Banyak bacot kau, kembalikan uang kami!"
"Saya telanjur beli beras dan persediaan makanan, Bang."