Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Timses Kencing di Celana

11 Desember 2020   11:47 Diperbarui: 11 Desember 2020   12:36 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PUKUL sepuluh. Sablak menyeka keringat di jidatnya. Upacara buang hajat berlangsung lancar tanpa kendala. Ia terkekeh-kekeh mengingat roman judes Tengil. Seluruh stasiun televisi kompak menyiarkan berita tentang Pemilihan Kepala Dukuh (Pilkadu) serempak di Republik Sukabacot.

Korona bukan halangan bagi Komisi Pemungutan Suara. Pilkadu tetap diselenggarakan takpeduli nyawa taruhannya. Hak hidup dikalahkan oleh hak suara. Sablak termasuk salah seorang yang menolak Pilkadu, tetapi penolakan itu sia-sia belaka.

Suara rakyat sudah bukan suara Tuhan. Suara rakyat sama sekali tidak didengarkan oleh kaum elite di Republik Sukabacot. Wakil rakyat lebih mementingkan suara partai. Pemerintah menutup telinga. Tokoh yang sebelum menjadi menteri doyan mengkritik kebijakan, sekarang mingkem. Tidak bersuara.

Sablak menggeleng-geleng. Ia kesal. Ia matikan televisi. Ingatannya mundur ke pukul lima. Tadi subuh Tengil mendatangi rumahnya. Sebuah amplop berisi uang sejuta untuk dua suara. Sablak dan istrinya diminta memilih Paslon Rese.

Dua jam sebelumnya, Bengal meninggalkan beranda rumah Sablak. Ia datang bersama amplop berisi uang sebanyak sejuta lima ratus ribu. Ongkos jalan ke bilik suara, kata Bengal. Hanya saja, ada catatan penyerta. Sablak dan istri mesti memilih Paslon Sabu (Saru-Busa).

Tujuh jam sebelum Bengal mendatanginya, Sablak baru saja menerima amplop tebal berisi uang sebanyak dua juta. Degil, Ketua Timses Paslon Cetek (Fache-Butek), menegaskan berkali-kali agar ia dan istrinya tidak memilih paslon lain.

Gara-gara timses, Sablak terpaksa belajar menghitung waktu. Untung ia sering mendampingi Si Sulung belajar matematika selama masa pagebluk. Kalau tidak, ia tidak bisa menghitung selisih antara kedatangan Tengil, Bengal, dan Degil.

Selagi pikiran Sablak mengelana, Bengal sudah berdiri di ambang pintu. Wajahnya merah padam. Tinjunya terkepal. Urat-urat di lehernya menonjolkan diri. Tanpa salam dan basa-basi, ia tinju pintu. Bengal memang tersohor sebagai centeng kelas atas. Sekali tonjok, pintu dari tripleks pun bolong. "Bajingan kau, Blak!"

"Sabar, Bang. Main tonjok aja!"

"Banyak bacot kau, kembalikan uang kami!"

"Saya telanjur beli beras dan persediaan makanan, Bang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun