Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Timses Kencing di Celana

11 Desember 2020   11:47 Diperbarui: 11 Desember 2020   12:36 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Olah Pribadi

SABLAK baru saja membuka pintu jamban ketika bel rumahnya berdentang. Semula ia hendak berlama-lama menyaksikan seorang demi seorang warga Dukuh Sukaduka memasuki bilik coblos, tetapi ia kebelet. Sesuatu di dalam perutnya minta lekas-lekas dikeluarkan. Buru-buru ia pulang, bergegas ke kakus, dan seseorang memencet bel berkali-kali.

Ia tidak mau ritual buang hajatnya terganggu. Ia selalu khusyuk saat berak. Maka ia putuskan berbalik, berlari kecil ke pintu, dan ingin segera memperlihatkan keterampilannya: nyerocos tiada henti seperti mobil tanpa rem. Tetapi ia terjelengar begitu membuka pintu.

Keringat dingin membasahi jidat lebarnya. Bukan lantaran melihat muka Tengil dengan seulas senyum sinis di hadapannya, melainkan karena perutnya berteriak minta segera dikuras. 

"Ada apa?" tanya Sablak tanpa basa-basi.

"Kembalikan isi amplop tadi subuh," ujar Tengil dengan mata membelalak. "Kamu gak nyoblos dukungan kami!"

Sudahlah ususnya berasa dipilin-pilih, datang pula Ketua Tim Sukses Paslon Rese (Remah-Senja) dengan todongan yang tidak tanggung-tanggung. Kontan Sablak mendelik. "Aku tidak pernah minta uang kepadamu, kepada junjunganmu, kepada siapa pun!"

"Tapi kamu terima uangnya!"

"Menolak rezeki itu bodoh, Ngil!"

"Gak ada alasan," sergah Tengil dengan suara setengah menjerit, "dasar pengkhianat!"

Pret. Kentut Sablak bagai guntur saja. Bunyinya besar. Seperti suara kain sobek. Aroma busuk segera menghiasi teras. Tengil menutup hidung seraya menggerutu kesal. Sablak tidak mau tahu. "Aku kebelet," katanya dalam tempo sekencang laju Usain Bolt, "masak berak di sini?"

***

PUKUL sepuluh. Sablak menyeka keringat di jidatnya. Upacara buang hajat berlangsung lancar tanpa kendala. Ia terkekeh-kekeh mengingat roman judes Tengil. Seluruh stasiun televisi kompak menyiarkan berita tentang Pemilihan Kepala Dukuh (Pilkadu) serempak di Republik Sukabacot.

Korona bukan halangan bagi Komisi Pemungutan Suara. Pilkadu tetap diselenggarakan takpeduli nyawa taruhannya. Hak hidup dikalahkan oleh hak suara. Sablak termasuk salah seorang yang menolak Pilkadu, tetapi penolakan itu sia-sia belaka.

Suara rakyat sudah bukan suara Tuhan. Suara rakyat sama sekali tidak didengarkan oleh kaum elite di Republik Sukabacot. Wakil rakyat lebih mementingkan suara partai. Pemerintah menutup telinga. Tokoh yang sebelum menjadi menteri doyan mengkritik kebijakan, sekarang mingkem. Tidak bersuara.

Sablak menggeleng-geleng. Ia kesal. Ia matikan televisi. Ingatannya mundur ke pukul lima. Tadi subuh Tengil mendatangi rumahnya. Sebuah amplop berisi uang sejuta untuk dua suara. Sablak dan istrinya diminta memilih Paslon Rese.

Dua jam sebelumnya, Bengal meninggalkan beranda rumah Sablak. Ia datang bersama amplop berisi uang sebanyak sejuta lima ratus ribu. Ongkos jalan ke bilik suara, kata Bengal. Hanya saja, ada catatan penyerta. Sablak dan istri mesti memilih Paslon Sabu (Saru-Busa).

Tujuh jam sebelum Bengal mendatanginya, Sablak baru saja menerima amplop tebal berisi uang sebanyak dua juta. Degil, Ketua Timses Paslon Cetek (Fache-Butek), menegaskan berkali-kali agar ia dan istrinya tidak memilih paslon lain.

Gara-gara timses, Sablak terpaksa belajar menghitung waktu. Untung ia sering mendampingi Si Sulung belajar matematika selama masa pagebluk. Kalau tidak, ia tidak bisa menghitung selisih antara kedatangan Tengil, Bengal, dan Degil.

Selagi pikiran Sablak mengelana, Bengal sudah berdiri di ambang pintu. Wajahnya merah padam. Tinjunya terkepal. Urat-urat di lehernya menonjolkan diri. Tanpa salam dan basa-basi, ia tinju pintu. Bengal memang tersohor sebagai centeng kelas atas. Sekali tonjok, pintu dari tripleks pun bolong. "Bajingan kau, Blak!"

"Sabar, Bang. Main tonjok aja!"

"Banyak bacot kau, kembalikan uang kami!"

"Saya telanjur beli beras dan persediaan makanan, Bang."

Brak. Pintu tergelepar dan menggelosor di lantai diterjang tendangan Bengal. "Bayar!"

Sablak menarik napas. "Iya, Bang. Saya telepon adik dulu buat pinjam uang."

"Begitu, dong." Bengal duduk di kursi. Kakinya selonjoran di atas meja. "Jangan samakan aku dengan Tengil. Dia bisa kaubodohi. Aku?" Matanya seperti singa beranak. "Jangan coba-coba!"

Sablak buru-buru mengirim wasap kepada adiknya. Kebetulan adiknya sedang pulang kampung untuk mencoblos di TPS di samping rumah Sablak. Begitu derap sepatu adiknya terdengar dari pekarangan, Sablak bergegas ke pintu. Gagah, adik bungsu Sablak, memasuki ruang tamu dengan tubuh berbalut seragam.

Bengal terkesima. Hilang nyali. Ia tergeragap. "Kaubilang mau telepon adikmu minta uang...."

"Ya," kata Sablak, "saya minta uang buat memperbaiki pintu. Anda boleh ikut ke kantor polisi bersama kami. Anda baru saja melakukan tindakan kekerasan. Perbuatan tidak menyenangkan. Selain itu, Anda merusak pilkadu dengan politik uang."

Bengal seperti karung basah terjatuh ke tanah. Ia bersujud-sujud meminta maaf. Sablak cengar-cengir.

***

SABLAK menunggu kedatangan Degil. Ia tahu bakal ditagih karena tidak memilih Paslon Cetek. Ia tahu, warga dukuh yang lain sudah setor foto surat suara. Aturan tidak boleh memotret di bilik suara memang dibuat untuk dilanggar, sama seperti aturan-aturan lain di Republik Sukabacot.

Namun, hingga senja pamit kepada bumi batang hidung Degil tidak muncul. Barangkali tokoh masyarakat yang gemar menyunat bantuan sosial itu sudah mendengar kasak-kusuk tentang Bengal yang mengompol karena takut diseret ke kantor polisi.

Rumah-rumah warga sudah banyak yang berantakan gara-gara sepakan dan tonjokan Bengal. Tengil dan Degil sama saja. Main kepalan, main pukul. Warga memilih karena ketakutan, bukan lantaran benar-benar ingin menggunakan hak suara.

Demokrasi di Republik Sukabacot tengah terjun bebas menuju jurang kehancuran. Semua pihak mengabaikan politik sehat. Reformasi setengah matang gagal menyajikan perbaikan. Selain itu, hampir di antero Nusaluka, rakyat hanya dibutuhkan ketika acara pilih-memilih tiba.

Berbeda dengan suasana di negara tetangga, Republik Indonesia. Di negara yang kerap disebut Nusantara itu, pemilu benar-benar dilakukan secara demokratis. Tidak ada ujaran kebencian, tidak ada kampanye hitam, tidak ada serangan fajar, tidak ada politik dinasti.

Karena pemilu di Republik Indonesia berlangsung demokratis, hasilnya pun dahsyat. Tidak ada pejabat korup. Sungguh terbalik 360 derajat dibanding keadaan di Republik Sukabacot. Di negara yang tenar dengan sebutan Nusaluka banyak anggota senat korup. Petinggi daerah juga korup. Bahkan, ada juga kepala sekolah yang korup.

Sablak mengusap air mata. Ia sadar, baru saja mengerat uang paslon. Ia tahu, baru saja ia abaikan semboyan "jangan ambil uangnya".

Salam takzim, Khrisna Pabichara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun