Tomat busuk. Cabe kering. Sayuran layu. Aku mengempaskan pantat ke kursi plastik. Kemarin rugi, sekarang rugi. Buntung lagi. Orang-orang melihat pasar bagai melihat kuburan. Angker. Menakutkan. Cukup satu pedagang positif korona, seluruh pedagang langsung dikarantina pembeli.
Tiga bulan lalu, pasar tidak pernah sepi. Ada saja yang menawar tomat. Tidak apa-apa. Yang penting laku. Bahkan Asar pun masih ada satu-dua orang yang berbelanja. Sekarang boro-boro. Sepi. Pukul sebelas siang sudah seperti pukul tiga sore. Jangankan hari biasa, Rabu pun sunyi.
"Susah benar nyari uang!"
Suara merdu merayap di telingaku. Tanpa mendongak pun aku sudah tahu siapa yang mengeluh. Eros. Suaminya sudah setahun jadi kuli di Timur Tengah. Ia sekarang yang menunggui kios. Mondar-mandir seperti setrikaan. Itu pekerjaannya setiap pasar dipukul sunyi.
Bukan karena kurang sopan sehingga aku tidak menanggapi gerutuannya, bukan. Aku tidak ingin hatiku bermasalah. Sebelumnya aku biasa-biasa saja. Aku tidak pernah merasakan desir aneh yang memaksa jantung dan pembuluh darahku bekerja lebih keras. Seminggu lalu tidak lagi.
"Tolong, kecoak!"
Teriakan itu memaksa pantatku meninggalkan kursi. Aku pernah melihat Eros pingsan gara-gara seekor kecoak terbang dan hinggap di tangannya. Tahu sendiri. Di pasar mana saja pasti ada kecoak. Bukan pasar kalau sepi dari kunjungan kecoak.
Ya. Kecoak seperti tikus dan kucing, lebih memadati pasar dibanding pembeli. Tetapi Eros tidak takut pada tikus atau kucing. Mataku jelingar ke mana-mana. Kursi yang biasa diduduki Eros sudah kusingkirkan. Kecoak merayap tidak ada, kecoak terbang pun tak ada.
Cekikikan Eros membuyarkan lamunanku. "Kukira tetangga kiosku mayat!"
Aku mendengus. Marah tidak, tertawa tidak. Dengan gontai aku kembali ke kiosku. Sekilas kulihat ia menghela napas. Aku tidak peduli. Mau bilang aku sombong, silakan. Mau tuding aku angkuh, ya, biarkan saja. Daripada jantung dan pembuluh darahku meledak.
Tepat ketika pantatku mencium kursi, aku melihat ia melengos. Membalik. Melenggang ke dalam kiosnya. Di dalam kepalaku, jarak sejauh lima meter yang memisahkan kami tak mampu menahan laju tubuhku yang sekilat terbang, lalu memeluk tubuh denoknya dari belakang.
***
Istriku pegawai kelurahan. Tugasnya melayani penduduk yang mengurus surat-surat. Tugasku, ya, memasak jika tidak ingin kelaparan sepulang dari pasar. Seraya menungu nasi tanak, aku menjerang air. Sepertinya kopi sanggup mengobati kepalaku yang sejak sepekan lalu dijajah Eros.
Seekor kecoak terbang. Hinggap di dinding, lalu terbang lagi tepat ke arah mukaku. Aku bukan lelaki yang geli melihat kecoak, tetapi aku tidak mau kecoak itu terbang, lesap ke benakku, dan bersekutu dengan Eros menguasai angan-anganku.
"Sudah pulang, Kang?"
Aku terkesiap. Keringat dingin seperti butir-butir jagung jatuh satu-satu di alisku. Tengkukku serasa ditempeli es batu. Lututku seakan-akan kehilangan sendi. "Pasar sepi, Neng." Untung suaraku tidak gemetar. Jika tidak, firasat istriku bakal mencium sesuatu yang aneh berkecamuk di kepalaku.
"Bangsat!"
Suaranya lirih. Tidak seperti perempuan lain kalau menjerit. Ai memang selembut itu suaranya kalau marah. Bangsat dan babi memang menghiasi bibirnya, tetapi nada lirihnya justru lebih mengerikan daripada apa pun. Seluruh tulang di tubuhku seperti dilolosi. Aku persis seperti copet yang dua hari lalu gelagapan dikepung pedagang.
"Kang, buang bangkai kecoak itu!"
Dadaku seketika lega. Ternyata kecoak.
"Kamu kenapa, sih?"
Aku menggeleng.
"Jujur!"
"Maafkan aku."
"Kenapa?"
"Ada perempuan lain di kepalaku."
Ia tertawa. "Paling juga perempuan depan kiosmu. Hati-hati, serong berawal di kepala."
"Aku tahu," kataku sambil tersenyum kecut. "Maafkan aku. Gak ada apa-apa antara aku dan Eros. Tadi aku cuma membantunya mengusir kecoak."
Ai tertawa. Merdu sekali. Alih-alih senang, aku bergidik. Bangkai kecoak menyelamatkan aku. Lega rasanya. Memang aku belum pernah berlaku serong. Ai tetap perempuan satu-satunya di hatiku. Tetapi, ada perempuan lain di kepalaku. "Anjing!"
"Kecoak, bukan anjing."
Aku mengibas-ngibaskan rambut. Seekor kecoak terbang menjauhi kepalaku. Â
***
Selasa benar-benar menyiksa. Sejak buka kios tidak seorang pelanggan yang datang. Alamat tomat busuk lagi. Eros beberapa kali menyapaku, tetapi aku tidak mengindahkannya. Istriku sudah curiga. Sesama pedagang di pasar bisa saja bekerja sama mengusir sepi.
Mang Obet, pedagang ikan kering, pernah dijewer istrinya dari kios hingga parkiran. Ia kedapatan sedang berpegangan tangan dengan Bi Unar. Ai tidak akan memperlakukan aku sama seperti Uning memperlakukan Mang Obet. Namun, aku tidak akan sanggup bertahan hidup lebih dari sehari jika Ai meninggalkan aku.
"Kecoak."
Aku tulikan telinga. Geradak-geruduk terdengar jelas. Kursi jatuh. Tertabrak. Aku tetap tuli. Literan jatuh. Baskom jatuh. Aku masih tuli. Gedebak-gedebuk seperti setandan pisang jatuh ke tanah, aku memilih tuli. Sunyi. Waktu seperti bergerak lambat. Siput kalah.
Aku berdiri. Pelan-pelan berjalan ke kios Eros. Aku terperanjat. Sepasang kaki Eros menyerbu mataku. Tubuhnya terlindung tumpukan karung. Di dekat tumitnya terbujur bangkai kecoak. Tidak, aku tidak akan mengkhianati Ai. Memang hanya di kepala, tetapi bagiku itu sudah jauh melangkah. Sudah serong dalam pikiran. Tidak. Biarkan Eros pingsan.
Kecoak di dekat tumit Eros bergerak-gerak.
"Maafkan aku, Ai. Aku harus menolong Eros." []
14092020, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H