***
Istriku pegawai kelurahan. Tugasnya melayani penduduk yang mengurus surat-surat. Tugasku, ya, memasak jika tidak ingin kelaparan sepulang dari pasar. Seraya menungu nasi tanak, aku menjerang air. Sepertinya kopi sanggup mengobati kepalaku yang sejak sepekan lalu dijajah Eros.
Seekor kecoak terbang. Hinggap di dinding, lalu terbang lagi tepat ke arah mukaku. Aku bukan lelaki yang geli melihat kecoak, tetapi aku tidak mau kecoak itu terbang, lesap ke benakku, dan bersekutu dengan Eros menguasai angan-anganku.
"Sudah pulang, Kang?"
Aku terkesiap. Keringat dingin seperti butir-butir jagung jatuh satu-satu di alisku. Tengkukku serasa ditempeli es batu. Lututku seakan-akan kehilangan sendi. "Pasar sepi, Neng." Untung suaraku tidak gemetar. Jika tidak, firasat istriku bakal mencium sesuatu yang aneh berkecamuk di kepalaku.
"Bangsat!"
Suaranya lirih. Tidak seperti perempuan lain kalau menjerit. Ai memang selembut itu suaranya kalau marah. Bangsat dan babi memang menghiasi bibirnya, tetapi nada lirihnya justru lebih mengerikan daripada apa pun. Seluruh tulang di tubuhku seperti dilolosi. Aku persis seperti copet yang dua hari lalu gelagapan dikepung pedagang.
"Kang, buang bangkai kecoak itu!"
Dadaku seketika lega. Ternyata kecoak.
"Kamu kenapa, sih?"
Aku menggeleng.