Pada mulanya adalah Majelis Amanat Rakyat (MARA). Gerakan moral yang dideklarasikan pada 14 Mei 1998, sehari setelah Soeharto lengser dari takhta presiden, digadang-gadang akan menjadi mesin baru dalam memperjuangkan demokrasi dan keadilan di Indonesia.
MARA menjadi corong pertama bagi hasrat politik Amien Rais setelah Orde Baru tumbang. Gerakan moral itu didukung oleh beberapa tokoh nasional. Goenawan Mohamad, Rizal Ramli, Emil Salim, A. M. Fatwa, Faisal Basri, Toety Heraty, serta Abdillah Thoha. Itu sekadar menyebut nama.
Era reformasi sontak dimeriahkan oleh ingar-bingar kelahiran partai politik baru. 23 Agustus 1998. Amien Rais dan kolega mengantarkan MARA menjadi sebuah partai politik dengan platform cerah dan mencerahkan. Partai Amanat Nasional (PAN) namanya.
Peran Amien Rais dalam pendirian PAN sangatlah vital. Tidak heran jika segelintir orang berpendapat bahwa PAN adalah Amien Rais. Begitu pula sebaliknya. Namun, Amien Rais--yang separuh PAN itu--tidak mampu mengantar PAN menjadi partai pemenang pada Pemilu 1999.
Pemilu 1999. Partai berlambang matahari bersinar cerah ternyata hanya mampu meraup 7.526.956 atau 7,12% suara. Sebanyak 34 kursi di DPR RI berhasil diduduki kader PAN. Meski begitu, PAN sukses besar mengantar Amien Rais ke kursi Ketua MPR RI masa bakti 1999--2004.
Pada Pemilu yang sama, PDI Perjuangan keluar sebagai peraih suara terbanyak dengan 35.689.073 atau 33,74% suara. Partai sempalan PDI yang dinahkodai oleh Megawati Sukarnoputri itu mampu merengkuh 153 kursi di DPR RI. Sekalipun PAN dan PDI Perjuangan sama-sama parpol anak sulung reformasi, tetapi partai berlambang banteng bermoncong putih jauh meninggalkan raihan suara PAN.
Amien Rais, doktor ilmu politik alumnus Universitas Chicago, Amerika Serikat, berhasil menggalang Poros Tengah untuk mengganjal PDI Perjuangan untuk meraih kursi presiden. Ajaibnya, Poros Tengah pula yang berperan penting dalam menjatuhkan Gus Dur dan mendudukkan Megawati di kursi RI 01.
Hasrat Politik Amien Rais
Pada Pemilu 2004, persentase suara PAN justru menurun alih-alih meningkat. Popularitas Amien Rais selaku Ketua MPR tidak berarti banyak. PAN hanya sanggup meraup 6,4% suara serta mendapatkan jatah 53 kursi di parlemen. Suara turun, kursi meningkat.
Apakah penurunan raihan suara itu mengerdilkan "gairah" Amien Rais? Tidak. Aktor utama film layar khusus berjudul "Poros Tengah" tersebut bahkan menabuh genderang perang dan menyatakan diri maju ke panggung tarung Pilpres 2004.
Amien didampingi oleh Siswono Yudohusodo untuk berhadapan dengan empat paslon lain. Boro-boro menang, suara paslon Amien-Siswono malah kedodoran hingga rangking keempat dari lima paslon. Mereka harus mengakui keunggulan paslon SBY-JK yang terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Dinamisasi PAN berlangsung tiada henti. Satu demi satu pendiri meninggalkan partai. Bahkan, ada juga yang menanggalkan kostum politik praktis. Hingga 2019, praktis tinggal Amien yang bertahan di tubuh PAN. Deklarator PAN yang lain sudah pergi, Amien tetap setia mengeram di rahim PAN.
Tidak ada lawan abadi, tidak ada kawan sejati. Amien Rais rela bergabung dengan anak-anak Soeharto di Partai Berkarya pada Pilpres 2019 lalu. Kroni sebagai peretelan KKN yang dulu diperjuangkan olehnya sekejap luntur demi memperjuangkan pasangan Prabowo-Sandi merebut kursi presiden dan wapres.
Dengan demikian, Amien Rais--bersama PAN--berhasil mencetak rekor satu kali gagal mengantar diri sendiri dan dua kali gagal mengantar Prabowo ke kursi presiden. Tentu bukan prestasi politik yang menyenangkan dan menenangkan bagi tokoh yang dulu kerap mendengungkan suksesi itu.
Terusir di Rumah Sendiri
Sebagai partai yang mendengung-dengungkan reformasi dan pembaruan, PAN kemudian mewujudkan napas demokrasi dalam sistem pemilihan ketua umum. Tidak ada seorang pun kader PAN yang boleh atau dibolehkan menduduki jabatan ketua umum selama dua periode. Meski tidak tertulis, konvensi itu disambut penuh gegap gempita oleh kader partai.
Di situ pula akar tengkar Amien Rais dengan sang besan. Zulkifli Hasan enggan mengamini anjuran sang deklarator. Ia bersikukuh duduk selama dua periode di kursi ketua umum. Amien beraksi. Kader PAN yang loyal ia anjurkan untuk tidak memilih Zulkifli. Amien kalah. Ia kalah di rumah sendiri. Ia kalah dari besannya sendiri.
Belakangan Amien justru "diusir" secara halus dari rumahnya sendiri. Mula-mula digusur dari jabatan langganan, yakni Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Lalu, satu demi satu loyalisnya dicopot dari posisi empuk. Bahkan, Hanafi Rais sang suksesor pun akhirnya terpental dari lingkaran Zulhas.
Selesai sudah. Amien Rais dihabisi di rumah sendiri. Ia dihabisi oleh besannya sendiri. Setelah bersusah payah mendirikan, mengembangkan, dan mempertahankan eksistensi PAN, Amien Rais malah diusir secara halus. Lebih menyedihkan lagi karena diusir oleh besan sendiri.
Itu pasti sangat sakit, sekalipun tidak berdarah.
Gairah Politik Tak Kunjung Surut
Jangan dikira Amien Rais jera. Gairah berpolitiknya masih seperti semangat anak muda yang menolak putus asa atau menyerah. Setelah ikut hadir dalam gerakan moral KAMI, belakangan beliau gencar dikabarkan akan segera mendirikan rumah aspirasi. Syahdan, PAN Reformasi adalah pilihan nama yang paling cocok dan tepat.
Naga-naganya Amien sudah menebalkan kuping. Sejumlah rekan sesama pendiri PAN mengiriminya surat terbuka, pada 26 Desember 2018, agar ia mengundurkan diri dari PAN. Akan tetapi, surat terbuka itu tidak ia indahkan.
Menilik sikap Amien, besar kemungkinan ia tetap akan mendirikan partai politik baru. Ia tentu tidak ingin sang anak yang berbakti, Hanafi Rais, sendirian diamuk gelombang perpolitikan nusantara. Harus ada sekoci penyelamat agar sang anak bisa kembali berkiprah di dunia politik praktis.
Namun, peluang batal mendirikan PAN Reformasi juga sangat besar. Bukan apa-apa. Sebagai seorang ayah yang baik dan penuh belas kasihan, Amien tentu tidak akan menyiksa anaknya sendiri. Beliau jelas menanggung derita batin apabila seorang anaknya tersiksa.
Memang Mumtaz sudah berlaku bagai kacang yang lupa kulit, tetapi anak tetaplah anak. Sesadis apa pun sindiran Mumtaz, seperti menyebut PAN Halusinasi dan orang-orang kurang kerjaan, tidak ada mantan anak. Sekali anak tetap anak. Paling tidak, Mbah Amien pasti menyadari bahwa anaknya hanya melakukan pansos agar elok laku di mata mertua.Â
Nahasnya, Amien Rais selaku penganjur reformasi tentu tidak ingin membangun "partai keluarga". Sudah sering terjadi di Indonesia bagaimana partai politik yang mengusung atau menggunakan merek demokrasi atau demokrat, tetapi pucuk pimpinan partai seperti warisan turun-temurun. Runyam jadinya kalau ayahanda Hanafi Rais dan Mumtaz Rais juga melakukan hal serupa. Â
Coba bayangkan betapa dilematis posisi Amien Rais. Tidak mendirikan PAN berarti menyiksa Hanafi, mendirikan berarti menyiksa Mumtaz. Sungguh pilihan yang level rasa sakitnya mirip dengan memakan buah simalakama.
Namun, ada rasa sakit yang jauh lebih menyakitkan. Rasa sakit yang diawali rasa kecewa. Betapa tidak. Sudahlah dilepeh oleh besan sendiri, sekarang Amien Rais dilecehkan oleh anak sendiri. Perih sekali nasib Pak Amien. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H