Dengan demikian, Amien Rais--bersama PAN--berhasil mencetak rekor satu kali gagal mengantar diri sendiri dan dua kali gagal mengantar Prabowo ke kursi presiden. Tentu bukan prestasi politik yang menyenangkan dan menenangkan bagi tokoh yang dulu kerap mendengungkan suksesi itu.
Terusir di Rumah Sendiri
Sebagai partai yang mendengung-dengungkan reformasi dan pembaruan, PAN kemudian mewujudkan napas demokrasi dalam sistem pemilihan ketua umum. Tidak ada seorang pun kader PAN yang boleh atau dibolehkan menduduki jabatan ketua umum selama dua periode. Meski tidak tertulis, konvensi itu disambut penuh gegap gempita oleh kader partai.
Di situ pula akar tengkar Amien Rais dengan sang besan. Zulkifli Hasan enggan mengamini anjuran sang deklarator. Ia bersikukuh duduk selama dua periode di kursi ketua umum. Amien beraksi. Kader PAN yang loyal ia anjurkan untuk tidak memilih Zulkifli. Amien kalah. Ia kalah di rumah sendiri. Ia kalah dari besannya sendiri.
Belakangan Amien justru "diusir" secara halus dari rumahnya sendiri. Mula-mula digusur dari jabatan langganan, yakni Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Lalu, satu demi satu loyalisnya dicopot dari posisi empuk. Bahkan, Hanafi Rais sang suksesor pun akhirnya terpental dari lingkaran Zulhas.
Selesai sudah. Amien Rais dihabisi di rumah sendiri. Ia dihabisi oleh besannya sendiri. Setelah bersusah payah mendirikan, mengembangkan, dan mempertahankan eksistensi PAN, Amien Rais malah diusir secara halus. Lebih menyedihkan lagi karena diusir oleh besan sendiri.
Itu pasti sangat sakit, sekalipun tidak berdarah.
Gairah Politik Tak Kunjung Surut
Jangan dikira Amien Rais jera. Gairah berpolitiknya masih seperti semangat anak muda yang menolak putus asa atau menyerah. Setelah ikut hadir dalam gerakan moral KAMI, belakangan beliau gencar dikabarkan akan segera mendirikan rumah aspirasi. Syahdan, PAN Reformasi adalah pilihan nama yang paling cocok dan tepat.
Naga-naganya Amien sudah menebalkan kuping. Sejumlah rekan sesama pendiri PAN mengiriminya surat terbuka, pada 26 Desember 2018, agar ia mengundurkan diri dari PAN. Akan tetapi, surat terbuka itu tidak ia indahkan.
Menilik sikap Amien, besar kemungkinan ia tetap akan mendirikan partai politik baru. Ia tentu tidak ingin sang anak yang berbakti, Hanafi Rais, sendirian diamuk gelombang perpolitikan nusantara. Harus ada sekoci penyelamat agar sang anak bisa kembali berkiprah di dunia politik praktis.
Namun, peluang batal mendirikan PAN Reformasi juga sangat besar. Bukan apa-apa. Sebagai seorang ayah yang baik dan penuh belas kasihan, Amien tentu tidak akan menyiksa anaknya sendiri. Beliau jelas menanggung derita batin apabila seorang anaknya tersiksa.
Memang Mumtaz sudah berlaku bagai kacang yang lupa kulit, tetapi anak tetaplah anak. Sesadis apa pun sindiran Mumtaz, seperti menyebut PAN Halusinasi dan orang-orang kurang kerjaan, tidak ada mantan anak. Sekali anak tetap anak. Paling tidak, Mbah Amien pasti menyadari bahwa anaknya hanya melakukan pansos agar elok laku di mata mertua.Â
Nahasnya, Amien Rais selaku penganjur reformasi tentu tidak ingin membangun "partai keluarga". Sudah sering terjadi di Indonesia bagaimana partai politik yang mengusung atau menggunakan merek demokrasi atau demokrat, tetapi pucuk pimpinan partai seperti warisan turun-temurun. Runyam jadinya kalau ayahanda Hanafi Rais dan Mumtaz Rais juga melakukan hal serupa. Â