Begini, Sahabat. Gagasan yang hendak kita sampaikan melalui tulisan ibarat fondasi bagi sebuah rumah. Namanya fondasi, ya, mesti kuat dan kukuh. Manakala fondasi rapuh, bangunan di atasnya gampang roboh. Hal sama terjadi pada tulisan yang kita taja dan tata.
Itu sebabnya sangatlah penting menyusun kerangka sebelum kita menumpahkan gagasan ke dalam tulisan. Tidak langsung beraksi, tidak asal sembur. Kerangka itu boleh dalam bentuk tulisan atau sebatas angan-angan yang berkelindan di kepala.
Agar tulisan bergizi, gagasan yang hendak kita suguhkan harus mengandung protein, vitamin, atau kalori. Setelah membaca tulisan kita, pembaca kenyang sekaligus mendapat asupan gizi. Bahkan tatkala tulisan kita berupa hiburan belaka, gizi itu kita sajikan sebagai pesan tersirat. Supaya lebih konkret, berikut tiga perkara penting yang harus kita sematkan pada tulisan.
- Ketedasan. Boleh saja tulisan kita pedas, tetapi mesti tedas atau nyata atau jelas. Bukan bualan berisi kata-kata umpatan. Tedas juga mencakup kata yang kita pilih. Bedakan nuansa dengan suasana. Bedakan merah muda dengan merah delima. Gagasan jangan dibabar sepotong-sepotong. Kalau perlu, paparkan hingga sedalam-dalamnya.
- Ketegasan. Boleh saja kita memilih tulisan berisi kata dari bahan baku bahasa gaul atau ragam cakapan, tetapi harus konsisten dari awal hingga akhir. Jangan pada awal tulisan kita pilih "enggak", di pertengahan menjadi "gak", dan di akhir tulisan menjelma "gk". Kalau mau taat asas penulisan, malah mestinya dicetak miring. Bentuk tulisan juga mesti tegas. Siapa pembaca yang kita sasar, apa latar belakang mereka, serta bagaimana mereka akan mencerna gagasan kita.
- Ketuntasan. Boleh saja bahasan kita melebar ke mana-mana, tetapi kita selalu ingat pada gagasan itu. Luberan ide yang tumpah ruah berpotensi membingungkan alih-alih membuat pembaca "kenyang dan beserdawa". Tuntas juga mencakup kalimat yang ajek dan utuh, antarkalimat yang jalin-menjalin, serta antarparagraf yang kait-mengait. Kalaupun kita bermain tarik ulur, mesti ada penanda supaya pembaca bisa mencerap dan mencecap tulisan kita secara purna.
Apabila ketiga perkara di atas sudah kita penuhi, alamat tulisan kita lebih renyah dan makin bergizi. Hanya saja, memenuhi ketiga hal tersebut bukanlah perkara mudah. Butuh pembiasaan, butuh banyak berlatih. Jangan dikira seorang koki bisa mahir memasak hanya dengan mengedipkan mata. Mereka melewati proses panjang dan berliku.
Sungguh, tulisan yang gurih dan bergizi lahir dari rahim penulis yang setia berproses.
Meraut Tiga RasaÂ
Kemasan. Inilah kata penting yang mesti kita acuhkan atau indahkan. Persoalan "kegurihan" tulisan kita bertolak dari kemahiran kita memadu dan meramu kalimat. Ketika melihat makanan, mata kita dipengaruhi oleh tampilannya dan hidung kita dibetot oleh aromanya.
Dalam tulisan, kemasan itu mencakup kejelasan memakai tanda baca, kejernihan memilih kata, dan kejelian kita meracik kalimat. Tulisan bertele-tele selalu jauh dari "kemasan yang elok dipandang mata dan sedap dicium hidung".
Andaikan bukan bertindak selaku penilai yang wajib memelototi tulisan dari huruf pertama hingga terakhir, saya tidak akan menyiksa diri membaca tulisan yang tanda bacanya berantakan, pilihan katanya awut-awutan, dan kalimatnya disusun secara asal-asalan.
Itu sebabnya tulisan ini diawali dengan empat paragraf pembuka yang mengoar-ngoarkan "jernih memilih kata". Salah tik, salah kata. Salah kata, salah makna. Begitu alurnya. Itu baru dua perkara yang, ajaibnya, kerap diremehkan dan direcehkan oleh banyak calon penulis (malah oleh penulis). Belum lagi jika kita ungkat-angkit perihal kejernihan meramu kalimat.
Pertanyaan berikutnya. Adakah rumus untuk mengemas tulisan dengan apik? Tunggu. Sebaiknya kita ganti kata "rumus". Kata itu terkesan rumit, pelik, sukar, dan ruwet. Menulis memang butuh hitung-hitungan, terutama perhitungan siapa yang bakal baca, bagaimana dampaknya, serta hitung-hitungan royalti, tetapi tidak usah dibikin seruwet itu.