Saya punya satu resep untuk menganggit tulisan dengan kemasan yang apik. Meraut rasa. Tidak banyak, cuma satu. Namun, satu rumus itu menurunkan tiga anak, masing-masing bernama rasa kata, rasa makna, dan rasa baca.
Rasa makna berkaitan dengan ketepatan makna kata yang kita pilih. Jika yang kita inginkan adalah kata melirik sambil menggerakkan kepala ke kiri atau ke kanan maka pilihlah menoleh. Mengerling tidak tepat karena kata itu tidak menyertakan gerakan kepala. Berpaling juga agak riskan karena berpeluang memacu taksa atau ambigu. Ingat, berpaling juga dapat diartikan sebagai upaya memunggungi, meninggalkan, tidak mengindahkan, atau kasarnya "selamat tinggal".
Rasa baca berkaitan dengan laras antaralinea. Kadang satu kata saja kita masih berlepotan, belum lagi satu kalimat atau paragraf, apalagi kalau sudah antaralinea. Duluku. Ini baru satu kata, tetapi rasa bacanya sudah someng atau ganjil. Kaidahnya begini, waktu bukanlah milik seseorang atau siapa pun. Dengan begitu, kata penanda waktu juga tidak elok diikuti keterangan kepemilikan seperti -ku, -mu, dan -nya. Kata yang tepat adalah aku dulu, saya dulu, atau dia dulu. Bisa juga dulu aku, dulu kamu, atau dulu dia.
Ketiga bagian rasa yang wajib kita asah tersebut sangat vital bagi tulisan kita. Kerja sama ketiganya juga penting untuk memperelok kemasan tulisan. Bagaimana merautnya? Hanya ada satu jalan, yakni banyak membaca. Masalahnya, jalan membaca itu penuh kerikil bernama malas.
Jika ingin menghasilkan tulisan yang berisi dan bergizi, tiada cara lain kecuali mengenyahkan rasa malas.
Yang Tersisa dari 100 Artikel Pertama
Jumlah tulisan yang bernas di antara 100 artikel yang saya baca pada termin pertama tidaklah banyak. Hanya 16 artikel. Sebanyak 84 artikel penuh dengan coretan, guratan, dan catatan. Kalau bukan gagasannya yang rapuh, pasti kemasannya yang asal-asalan. Kalaupun gagasannya kukuh, pasti kalimat, kata, dan ejaannya semrawut.
Padahal ada beberapa peserta yang mengabarkan prestasi gemilang di dunia blog, tetapi memilah antara "di" selaku kata depan dan "di-" sebagai awalan saja ripuh. Malahan ada yang memberi spasi sebelum tanda tanya (?) atau tanda seru (!). Jangan ditanya perkara kejernihan kalimat, sebab menaruh subjek dan objek saja tidak fasih.
Juara I saya raih. Ini contoh sederhana saja. Sepintas terlihat tidak ada yang keliru, tetapi berbeda kalau diamati secara mendalam. Bandingkan dengan kalimat berikut. Saya meraih Juara I. Itu bukan menulis dengan bahasa berbunga-bunga, melainkan menulis dengan kalimat yang tepat.
Di antara 16 tulisan yang "sementara saya nilai bagus" pun masih banyak menyisakan cela. Misalnya penulisan partikel pun; pembedaan ke dan kepada; pemakaian awalan ke- dan kata depan ke; serta penggunaan huruf kapital.
Adakah contoh penulisan yang tepat dari sekian banyak kekeliruan di atas? Ada. Cari saja tulisan-tulisan tentang bahasa Indonesia di internet. Saya sendiri rutin menulis tentang kebahasaan di Kompasiana. Ulik saja. Ada penulisan partikel pun, penggunaan tanda titik, perbedaan berapa dan beberapa, varian kata dalam bahasa Indonesia, dan lain-lain.Â