Meracik Tulisan yang Gurih dan Bergizi
Jangan sepelekan perihal salah tik. Posisi tombol huruf tertentu yang berendengan berpotensi menyulitkan pengetikan. Bayangkan bila kalian ingin mengetik tiket, tetapi yang terketik justru toket. Gara-garanya receh, tombol /i/ dan /o/ berdampingan.
Kalau masih satu kata mungkin belum terasa kejanggalannya. Beda perkara kalau sudah jalin-menjalin dalam kalimat. Contoh: Saya ingin membeli toket konser. Jika sudah begitu, makna yang kita suratkan kontan berantakan.
Bilamana kita kurang berhati-hati, ditambah ingin berlekas-lekas memajang tulisan, kecerobohan seperti itu dapat berakibat buruk. Bayangkan kita salah mengetik judul tulisan. Mestinya "Kisah Seorang Nabi" malah "Kisah Seorang Babi". Itu bisa saja terjadi karena letak tombol huruf /b/ dan /n/ sebelah-menyebelah.
Sekarang, coba bayangkan kita sedang menulis surat untuk ayahanda tercinta. Sebut saja surat berisi ajuan untuk subsidi jajan tambahan, lantaran bekal di rantau sudah menipis, lalu kita memulai surat dengan kalimat beriba-iba seperti "pasti Ayah tahi". Boro-boro ditransferkan duit, salah-salah dikirimi pesan berisi kata "kamu merantau bukan untuk belajar melupakan sopan santun". Itu dapat terjadi disebabkan huruf /u/ dan /i/ bersisian.
Itu baru ihwal salah tik, belum termasuk keliru menaruh tanda baca, salah memilih kata, komposisi kalimat amburadul, serta alinea atau ranggan yang tidak kait-mengait dengan kuat. Tulisan yang kita pajang di blog atau medsos jelas-jelas kita hajatkan supaya terbaca. Lima kekeliruan mendasar tersebut sungguh-sungguh berpengaruh pada kebersampaian dan keberterimaan gagasan yang kita sajikan lewat tulisan.
Supaya Tulisan Gurih dan Bergizi
Teh langsung tandas seusai saya baca artikel ke-100. Jumlah peserta kompetisi blog Adhi Nugroho yang tengah saya nilai tidak tanggung-tanggung. Sebanyak 438 narablog urun setor gagasan. Dari yang masih belia hingga yang menjelang paruh baya, dari blog perorangan hingga blog keroyokan.
Untung si empunya hajat, Adhi Harahap, meluaskan saya untuk mengomentari tulisan peserta. Jika tidak, benak saya bakalan gatal setiap bersua tulisan yang asal-asalan. Ruginya, waktu dan emosi yang saya gunakan untuk menilai tulisan sangat terkuras.
Kini tiba saat kita mulai bertanya. Bagaimana menata tulisan sehingga gurih dan bergizi? Pernyataan ini amat saya sukai lantaran mengamsalkan tulisan dengan makanan: gurih dan bergizi. Setelah usai menilai tulisan ke-100, sengaja saya perjelas supaya terang bahwa penulisan huruf dan angka harus dipisahkan oleh tanda hubung, langsung saya anggit tulisan ini.
Begini, Sahabat. Gagasan yang hendak kita sampaikan melalui tulisan ibarat fondasi bagi sebuah rumah. Namanya fondasi, ya, mesti kuat dan kukuh. Manakala fondasi rapuh, bangunan di atasnya gampang roboh. Hal sama terjadi pada tulisan yang kita taja dan tata.
Itu sebabnya sangatlah penting menyusun kerangka sebelum kita menumpahkan gagasan ke dalam tulisan. Tidak langsung beraksi, tidak asal sembur. Kerangka itu boleh dalam bentuk tulisan atau sebatas angan-angan yang berkelindan di kepala.
Agar tulisan bergizi, gagasan yang hendak kita suguhkan harus mengandung protein, vitamin, atau kalori. Setelah membaca tulisan kita, pembaca kenyang sekaligus mendapat asupan gizi. Bahkan tatkala tulisan kita berupa hiburan belaka, gizi itu kita sajikan sebagai pesan tersirat. Supaya lebih konkret, berikut tiga perkara penting yang harus kita sematkan pada tulisan.
- Ketedasan. Boleh saja tulisan kita pedas, tetapi mesti tedas atau nyata atau jelas. Bukan bualan berisi kata-kata umpatan. Tedas juga mencakup kata yang kita pilih. Bedakan nuansa dengan suasana. Bedakan merah muda dengan merah delima. Gagasan jangan dibabar sepotong-sepotong. Kalau perlu, paparkan hingga sedalam-dalamnya.
- Ketegasan. Boleh saja kita memilih tulisan berisi kata dari bahan baku bahasa gaul atau ragam cakapan, tetapi harus konsisten dari awal hingga akhir. Jangan pada awal tulisan kita pilih "enggak", di pertengahan menjadi "gak", dan di akhir tulisan menjelma "gk". Kalau mau taat asas penulisan, malah mestinya dicetak miring. Bentuk tulisan juga mesti tegas. Siapa pembaca yang kita sasar, apa latar belakang mereka, serta bagaimana mereka akan mencerna gagasan kita.
- Ketuntasan. Boleh saja bahasan kita melebar ke mana-mana, tetapi kita selalu ingat pada gagasan itu. Luberan ide yang tumpah ruah berpotensi membingungkan alih-alih membuat pembaca "kenyang dan beserdawa". Tuntas juga mencakup kalimat yang ajek dan utuh, antarkalimat yang jalin-menjalin, serta antarparagraf yang kait-mengait. Kalaupun kita bermain tarik ulur, mesti ada penanda supaya pembaca bisa mencerap dan mencecap tulisan kita secara purna.
Apabila ketiga perkara di atas sudah kita penuhi, alamat tulisan kita lebih renyah dan makin bergizi. Hanya saja, memenuhi ketiga hal tersebut bukanlah perkara mudah. Butuh pembiasaan, butuh banyak berlatih. Jangan dikira seorang koki bisa mahir memasak hanya dengan mengedipkan mata. Mereka melewati proses panjang dan berliku.
Sungguh, tulisan yang gurih dan bergizi lahir dari rahim penulis yang setia berproses.
Meraut Tiga RasaÂ
Kemasan. Inilah kata penting yang mesti kita acuhkan atau indahkan. Persoalan "kegurihan" tulisan kita bertolak dari kemahiran kita memadu dan meramu kalimat. Ketika melihat makanan, mata kita dipengaruhi oleh tampilannya dan hidung kita dibetot oleh aromanya.
Dalam tulisan, kemasan itu mencakup kejelasan memakai tanda baca, kejernihan memilih kata, dan kejelian kita meracik kalimat. Tulisan bertele-tele selalu jauh dari "kemasan yang elok dipandang mata dan sedap dicium hidung".
Andaikan bukan bertindak selaku penilai yang wajib memelototi tulisan dari huruf pertama hingga terakhir, saya tidak akan menyiksa diri membaca tulisan yang tanda bacanya berantakan, pilihan katanya awut-awutan, dan kalimatnya disusun secara asal-asalan.
Itu sebabnya tulisan ini diawali dengan empat paragraf pembuka yang mengoar-ngoarkan "jernih memilih kata". Salah tik, salah kata. Salah kata, salah makna. Begitu alurnya. Itu baru dua perkara yang, ajaibnya, kerap diremehkan dan direcehkan oleh banyak calon penulis (malah oleh penulis). Belum lagi jika kita ungkat-angkit perihal kejernihan meramu kalimat.
Pertanyaan berikutnya. Adakah rumus untuk mengemas tulisan dengan apik? Tunggu. Sebaiknya kita ganti kata "rumus". Kata itu terkesan rumit, pelik, sukar, dan ruwet. Menulis memang butuh hitung-hitungan, terutama perhitungan siapa yang bakal baca, bagaimana dampaknya, serta hitung-hitungan royalti, tetapi tidak usah dibikin seruwet itu.
Saya punya satu resep untuk menganggit tulisan dengan kemasan yang apik. Meraut rasa. Tidak banyak, cuma satu. Namun, satu rumus itu menurunkan tiga anak, masing-masing bernama rasa kata, rasa makna, dan rasa baca.
Rasa makna berkaitan dengan ketepatan makna kata yang kita pilih. Jika yang kita inginkan adalah kata melirik sambil menggerakkan kepala ke kiri atau ke kanan maka pilihlah menoleh. Mengerling tidak tepat karena kata itu tidak menyertakan gerakan kepala. Berpaling juga agak riskan karena berpeluang memacu taksa atau ambigu. Ingat, berpaling juga dapat diartikan sebagai upaya memunggungi, meninggalkan, tidak mengindahkan, atau kasarnya "selamat tinggal".
Rasa baca berkaitan dengan laras antaralinea. Kadang satu kata saja kita masih berlepotan, belum lagi satu kalimat atau paragraf, apalagi kalau sudah antaralinea. Duluku. Ini baru satu kata, tetapi rasa bacanya sudah someng atau ganjil. Kaidahnya begini, waktu bukanlah milik seseorang atau siapa pun. Dengan begitu, kata penanda waktu juga tidak elok diikuti keterangan kepemilikan seperti -ku, -mu, dan -nya. Kata yang tepat adalah aku dulu, saya dulu, atau dia dulu. Bisa juga dulu aku, dulu kamu, atau dulu dia.
Ketiga bagian rasa yang wajib kita asah tersebut sangat vital bagi tulisan kita. Kerja sama ketiganya juga penting untuk memperelok kemasan tulisan. Bagaimana merautnya? Hanya ada satu jalan, yakni banyak membaca. Masalahnya, jalan membaca itu penuh kerikil bernama malas.
Jika ingin menghasilkan tulisan yang berisi dan bergizi, tiada cara lain kecuali mengenyahkan rasa malas.
Yang Tersisa dari 100 Artikel Pertama
Jumlah tulisan yang bernas di antara 100 artikel yang saya baca pada termin pertama tidaklah banyak. Hanya 16 artikel. Sebanyak 84 artikel penuh dengan coretan, guratan, dan catatan. Kalau bukan gagasannya yang rapuh, pasti kemasannya yang asal-asalan. Kalaupun gagasannya kukuh, pasti kalimat, kata, dan ejaannya semrawut.
Padahal ada beberapa peserta yang mengabarkan prestasi gemilang di dunia blog, tetapi memilah antara "di" selaku kata depan dan "di-" sebagai awalan saja ripuh. Malahan ada yang memberi spasi sebelum tanda tanya (?) atau tanda seru (!). Jangan ditanya perkara kejernihan kalimat, sebab menaruh subjek dan objek saja tidak fasih.
Juara I saya raih. Ini contoh sederhana saja. Sepintas terlihat tidak ada yang keliru, tetapi berbeda kalau diamati secara mendalam. Bandingkan dengan kalimat berikut. Saya meraih Juara I. Itu bukan menulis dengan bahasa berbunga-bunga, melainkan menulis dengan kalimat yang tepat.
Di antara 16 tulisan yang "sementara saya nilai bagus" pun masih banyak menyisakan cela. Misalnya penulisan partikel pun; pembedaan ke dan kepada; pemakaian awalan ke- dan kata depan ke; serta penggunaan huruf kapital.
Adakah contoh penulisan yang tepat dari sekian banyak kekeliruan di atas? Ada. Cari saja tulisan-tulisan tentang bahasa Indonesia di internet. Saya sendiri rutin menulis tentang kebahasaan di Kompasiana. Ulik saja. Ada penulisan partikel pun, penggunaan tanda titik, perbedaan berapa dan beberapa, varian kata dalam bahasa Indonesia, dan lain-lain.Â
Bagaimana kalau malas berselancar di internet? Itu derita kalian. Sekali lagi, obat malas tidak dijual di apotek mana pun. Obat malas berada dalam diri kalian. Selain mencari di internet? Ini pertanyaan keren. Jawaban saya juga pasti keren.
Silakan pesan novel terbaru saya. Kita, Kata, dan Cinta. Selain menikmati konflik cinta antara Sabda dan Kana, kalian juga tanpa sadar belajar berbahasa Indonesia. Kata Boy Candra, belajar sambil membaca cerita. Tidak menggurui, tidak menasihati. Silakan pesan sekarang karena kalian akan mendapat diskon 25% hingga 15 Februari.
Pendek kata, siapa saja yang merasa dirinya warga Indonesia atau warga asing yang ingin belajar bahasa Indonesia. Terkait kabar novel terbaru saya, itu adalah rumus ringkas yang bisa kalian baca dan terapkan. Tidak percaya? Pesan saja bukunya! [khrisna]
Sebagai bahan pengaya, silakan baca juga:
- Kaidah Penggunaan Kata "dengan".
- Aturan Penulisan Partikel Pun.
- Kaidah Penggunaan "di".
- Beberapa Kata yang Keliru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H