Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Meracik Tulisan yang Gurih dan Bergizi

1 Februari 2019   22:03 Diperbarui: 2 Februari 2019   08:46 1505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kita, Kata, dan Cinta (Dokumentasi Pribadi)

Begini, Sahabat. Gagasan yang hendak kita sampaikan melalui tulisan ibarat fondasi bagi sebuah rumah. Namanya fondasi, ya, mesti kuat dan kukuh. Manakala fondasi rapuh, bangunan di atasnya gampang roboh. Hal sama terjadi pada tulisan yang kita taja dan tata.

Itu sebabnya sangatlah penting menyusun kerangka sebelum kita menumpahkan gagasan ke dalam tulisan. Tidak langsung beraksi, tidak asal sembur. Kerangka itu boleh dalam bentuk tulisan atau sebatas angan-angan yang berkelindan di kepala.

Tedas, tegas, dan tuntas (Dokumentasi Pribadi)
Tedas, tegas, dan tuntas (Dokumentasi Pribadi)
Supaya tulisan gurih, kita harus memilah-milah gagasan sebagaimana kita memilah bahan makanan yang akan kita masak. Bumbunya berupa data dan itu pun harus diracik dengan apik supaya enak dibaca. Lama jangka memasak dan tingkat panas api mesti ditakar karena memengaruhi kematangan masakan. Begitu pula dengan tulisan. Kadang kita harus main tarik ulur agar pembaca penasaran dan tidak berhenti sebelum mata mereka tiba pada titik terakhir dalam tulisan kita.

Agar tulisan bergizi, gagasan yang hendak kita suguhkan harus mengandung protein, vitamin, atau kalori. Setelah membaca tulisan kita, pembaca kenyang sekaligus mendapat asupan gizi. Bahkan tatkala tulisan kita berupa hiburan belaka, gizi itu kita sajikan sebagai pesan tersirat. Supaya lebih konkret, berikut tiga perkara penting yang harus kita sematkan pada tulisan.

  1. Ketedasan. Boleh saja tulisan kita pedas, tetapi mesti tedas atau nyata atau jelas. Bukan bualan berisi kata-kata umpatan. Tedas juga mencakup kata yang kita pilih. Bedakan nuansa dengan suasana. Bedakan merah muda dengan merah delima. Gagasan jangan dibabar sepotong-sepotong. Kalau perlu, paparkan hingga sedalam-dalamnya.
  2. Ketegasan. Boleh saja kita memilih tulisan berisi kata dari bahan baku bahasa gaul atau ragam cakapan, tetapi harus konsisten dari awal hingga akhir. Jangan pada awal tulisan kita pilih "enggak", di pertengahan menjadi "gak", dan di akhir tulisan menjelma "gk". Kalau mau taat asas penulisan, malah mestinya dicetak miring. Bentuk tulisan juga mesti tegas. Siapa pembaca yang kita sasar, apa latar belakang mereka, serta bagaimana mereka akan mencerna gagasan kita.
  3. Ketuntasan. Boleh saja bahasan kita melebar ke mana-mana, tetapi kita selalu ingat pada gagasan itu. Luberan ide yang tumpah ruah berpotensi membingungkan alih-alih membuat pembaca "kenyang dan beserdawa". Tuntas juga mencakup kalimat yang ajek dan utuh, antarkalimat yang jalin-menjalin, serta antarparagraf yang kait-mengait. Kalaupun kita bermain tarik ulur, mesti ada penanda supaya pembaca bisa mencerap dan mencecap tulisan kita secara purna.

Apabila ketiga perkara di atas sudah kita penuhi, alamat tulisan kita lebih renyah dan makin bergizi. Hanya saja, memenuhi ketiga hal tersebut bukanlah perkara mudah. Butuh pembiasaan, butuh banyak berlatih. Jangan dikira seorang koki bisa mahir memasak hanya dengan mengedipkan mata. Mereka melewati proses panjang dan berliku.

Sungguh, tulisan yang gurih dan bergizi lahir dari rahim penulis yang setia berproses.

Meraut Tiga Rasa 

Kemasan. Inilah kata penting yang mesti kita acuhkan atau indahkan. Persoalan "kegurihan" tulisan kita bertolak dari kemahiran kita memadu dan meramu kalimat. Ketika melihat makanan, mata kita dipengaruhi oleh tampilannya dan hidung kita dibetot oleh aromanya.

Dalam tulisan, kemasan itu mencakup kejelasan memakai tanda baca, kejernihan memilih kata, dan kejelian kita meracik kalimat. Tulisan bertele-tele selalu jauh dari "kemasan yang elok dipandang mata dan sedap dicium hidung".

Andaikan bukan bertindak selaku penilai yang wajib memelototi tulisan dari huruf pertama hingga terakhir, saya tidak akan menyiksa diri membaca tulisan yang tanda bacanya berantakan, pilihan katanya awut-awutan, dan kalimatnya disusun secara asal-asalan.

Itu sebabnya tulisan ini diawali dengan empat paragraf pembuka yang mengoar-ngoarkan "jernih memilih kata". Salah tik, salah kata. Salah kata, salah makna. Begitu alurnya. Itu baru dua perkara yang, ajaibnya, kerap diremehkan dan direcehkan oleh banyak calon penulis (malah oleh penulis). Belum lagi jika kita ungkat-angkit perihal kejernihan meramu kalimat.

Pertanyaan berikutnya. Adakah rumus untuk mengemas tulisan dengan apik? Tunggu. Sebaiknya kita ganti kata "rumus". Kata itu terkesan rumit, pelik, sukar, dan ruwet. Menulis memang butuh hitung-hitungan, terutama perhitungan siapa yang bakal baca, bagaimana dampaknya, serta hitung-hitungan royalti, tetapi tidak usah dibikin seruwet itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun