Orang-orang di sini hanya punya dua ekspresi: kesedihan dan kegembiraan. Yang bersedih dan yang bergembira sama-sama berurai air mata. Ada yang bercucuran, ada yang bertitikan.
Gadis bergaun putih dan bermata indah itu berjalan ke arah UGD. Sabda menatapnya sembari menarik napas lega dan menelan ludah dengan susah payah.Â
Betul-betul hari penuh kejutan. Perintah senior, puisi dari Kana, demonstrasi yang mencengkam dan mencekam, kericuhan, perempuan tua yang jatuh pingsan dengan darah mengalir di cuping hidung, pengalaman pertama menyetir mobil ambulans, dan gadis bergaun putih yang misterius. Satu lagi, Sabda membatin, di sinilah aku sekarang di gedoeng toea--dan Tuan Menir Chastelein berdansa di kepala.
Sebagaimana rumah sakit-rumah sakit yang lain di Depok, RS Harapan dipenuhi pasien. Ada yang meninggalkan rumah sakit dengan wajah berseri-seri, ada yang masuk ke rumah sakit dengan mata dilamuri kecemasan, ada yang mulutnya komat-kamit tiada henti, ada yang bercucuran air mata. Orang-orang di sini hanya punya dua ekspresi: kesedihan dan kegembiraan. Yang bersedih dan yang bergembira sama-sama berurai air mata. Ada yang bercucuran, ada yang bertitikan.
Dari jauh, gadis bergaun putih melambaikan tangan dan tersenyum kepadanya. Dia berjalan dengan anggun. Langkahnya seperti penari salsa.Â
Sabda menggerutu di dalam hati. Tadi ia semobil dengannya, mengobrol bersamanya, dan mencemaskan nasib perempuan renta yang sama, tetapi ia tidak tahu siapa nama gadis itu, apa pekerjaannya, di mana rumahnya, dan ia tidak bernyali buat menanyakan apa-apa.
"Kita kembali ke Stasiun Pocin!"
Ketika melihat gadis itu tersenyum, Sabda seperti melihat orang yang berbeda. "Bagaimana nasib pedagang tadi?"
"Terlambat lima menit saja nyawanya melayang."
"Syukurlah. Sakit apa?"