Umur saya niscaya tidak akan sepanjang usia Nabi Adam, Nabi Idris, atau Nabi Nuh. Bahkan mungkin tidak sepanjang usia kakek saya, Punda Manrawa, yang mencapai 130-an. Di situlah pentingnya menyejarahkan diri lewat tulisan.
Paling tidak, saya meninggalkan jejak tatkala saya sudah tiada. Kerabat saya tidak akan bingung jika ada yang menanyakan perihal siapa saya atau apa yang pernah saya lakukan. Jawabannya ringkas. Khrisna penulis dan salah satu karya, sekadar menyebut contoh, adalah novel Sepatu Dahlan.
Kalau mau jawaban lebih panjang juga bisa. Tinggal menyatakan bahwa Khrisna peduli pada kisah-kisah berlatar Bugis-Makassar. Lihat saja dalam Natisha, Gadis Pakarena, atau Barichalla. Beres. Selesai. Dengan begitu, amanat Pram mengenai bekerja bagi keabadian sudah saya kerjakan.
Bagaimana saya tahu itu? Karena saya membaca. Namun, bagaimana saya akan menulis perkara yang sama jika saya tidak banyak membaca?
Padahal, sebagaimana disitir maestro Sinrilik, Siradjuddin Bantang, menulis adalah merekam perjalanan hidup. Apakah yang saya baca sepanjang perjalanan batin saya? Apakah tiap-tiap yang saya baca itu, terutama yang memacu kegelisahan, sudah saya tulis?
Masih ada pertanyaan lain. Adakah momen-momen krusial yang dilewatkan oleh mata saya? Adakah yang tidak terlewati sudah saya tuangkan ke dalam tulisan? Sungguh, orang-orang yang hidup setelah saya pasti akan menggunakan tulisan sebagai jembatan untuk mengetahui kondisi saat ini, seperti saya menggunakan tulisan untuk tamasya ke masa lalu.
Namun, bagaimana saya tahu akan informasi apa yang penting bagi generasi setelah saya jikalau saya tidak banyak membaca?
Kakek saya, Punda Manrawa, adalah penghafal bositimurung (roman dalam sastra lisan Makassar). Beliau dapat menghafal isi bositimurung hingga titik dan komanya. Kakek saya yang lain, Silang Magga, penulis kittak parakara (kitab berisi tamsil-tamsil kehidupan dalam bahasa Makassar). Beliau mahir menulis dalam aksara Makassar atau aksara Arab berbahasa Makassar. Namun, bagaimana saya akan mewarisi kebiasaan mereka jika saya tidak membaca?
Semasa kecil hingga dewasa, hampir setiap waktu saya memegang buku. Saksi-saksi masih hidup hingga sekarang. Bakaring, kakak sulung saya, masih bugar. Ram Prapanca, guru saya semasa SMA, masih sehat sentosa. Amel, perempuan yang saya cintai karena cinta kepada-Nya, masih segar bugar dan penuh pesona.Â
Namun, makin banyak yang saya baca berasa makin banyak pula yang tidak saya ketahui. Berasa makin sedikit yang saya tahu. Persis setitik air di samudra. Â Â