Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bagaimana Mungkin Menulis dengan Baik Tanpa Membaca?

26 Agustus 2018   16:13 Diperbarui: 26 Agustus 2018   20:19 1825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: inc.com

Saya temui beliau lewat buku-buku mengenai ikat-mengikat makna. Lalu, bersama setumpuk tulisan tentang neurologi, saya sambangi beliau di Bandung. Beliau tunjukkan apa yang kurang dan perlihatkan sisi yang lebih dari tulisan saya.

Pram, Bambang, dan Hernowo telah mengayakan batin saya. Kekayaaan itu tidak akan saya temukan seandainya saya tidak membaca. Beliau bertiga telah merangsang gairah saya untuk tidak berhenti pada sebatas membaca, tetapi terus menopang hidup dengan menulis.

Novel fantasi anggitan saya yang bercita rasa Nusantara | Foto: vemale.com
Novel fantasi anggitan saya yang bercita rasa Nusantara | Foto: vemale.com
Menopang, ya, menopang. Menulis bukan lagi sekadar menyemburkan gagasan-gagasan yang menyesaki kepala, melainkan sekaligus mengabadikan gagasan-gagasan itu. Dengan begitu, kelak setelah mangkat, ada yang dapat pembaca ingat dari diri saya.

Jika itu sudah terjadi, otomatis menulis akan menopang hidup saya. Kalaupun belum secara saksama menopang biaya hidup keluarga saya, itu perkara nasib. Penulis di negeri ini memang bernasib unik. Selain pajak 15% atas royalti yang hanya 10%, masih ada permintaan buku gratis dari orang-orang dekat atau orang-orang yang merasa dekat.

Sederhananya begini. Jika sebuah buku yang dikarang selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, dijual seharga Rp100.000,00 maka penulis berhak atas royalti Rp10.000,00 per buku. Apabila terjual 1000 buku, berarti penulis menerima royalti sebesar Rp10.000.000,00.

Kemudian, negara menarik pajak sebesar 15% atau Rp1.500.000,00. Jadi penghasilan penulis sebesar Rp8.500.000,00 dalam rentang enam bulan. Apabila dibagi per bulan menjadi Rp1.416.666,00. Bayangkan apabila si penulis hanya menulis alias tidak punya pekerjaan lain. Bayangkan jika si penulis punya tiga orang anak yang butuh uang jajan, biaya sekolah, ongkos kesehatan, dan biaya makan sehari-hari.

Bayangkan jika 15 teman meminta buku gratis. Berarti buku seharga Rp1.500.000,00 harus ditanggung sendiri oleh penulis. Berarti satu bulan royalti bablas. Berarti satu bulan anak-istri si penulis terpaksa gigit jari dan menahan lapar.

Tidak. Negara dengan tarikan pajak sebegitu besar, dan tidak mengakui penulis sebagai salah satu profesi di kartu pengenal kependudukan, sebenarnya tidak salah. Teman-teman penulis yang suka minta buku gratis juga tidak salah. Penulis yang salah. Lah, siapa suruh menjadi penulis.

Sekalipun demikian, penulis tidak akan berhenti menulis. Getir hidup tidak akan mematahkan semangat berbagi. Pahit nasib tidak akan mengendurkan hasrat berbagi. Setidaknya dalam satu tulisan selalu ada ilmu yang dimanfaatkan. Syahdan, itu jenis pahala yang abadi. Tidak terputus.

Itulah enaknya jadi penulis.

Siradjuddin Bantang, maestro kesenian tradisional Makassar, merapal lima kata. Menulis itu merekam perjalanan hidup. Namun, bagaimana kita tahu akan tulisan yang mampu merekam perjalanan hidup apabila saya tidak membaca?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun