Tami malah bertanya, "Jadi kamu pulang ke Makassar, tiga bulan lalu, untuk menikah?" Suaranya terdengar sayup. Semacam rintih tertahan akibat desakan rasa kaget sekaligus terpaan rasa sakit. "Mestinya kamu katakan kepadaku. Kalau kamu memilih gadis lain, itu hakmu. Tetapi jangan seperti ini caramu memperlakukan aku!"
Tami tidak yakin apakah harus berduka atau bergembira mendengar lamaran Remba ditolak, tetapi ia yakin tengah marah karena merasa dikhianati. "Kamu tidak menghargai perasaanku!"
Tami berdiri dan mendengus. Napasnya seperti raung harimau marah atau aung singa terluka. Remba mencekal tangannya, lembut sekali, memberi isyarat supaya Tami kembali duduk dan menenangkan diri.
Tami merasa dadanya dokoyak-koyak rasa sedih. Ia merasa dirinya laksana kertas tak dibutuhkan yang diremas-remas lalu dicampakkan ke tong sampah.
"Kamu salah paham."
Tami langsung menyela. "Telingaku belum tuli."
"Dengar dulu..."
"Dua kata tadi sudah cukup," sergah Tami. "Katamu, lamaranmu ditolak. Itu berarti kamu sudah berpaling dan mengalihkan hatimu."
"Kamu marah?"
"Jelas!"
"Kamu terluka?"