"Tidak ada apa-apa." Remba hanya tersenyum, lalu tertawa keras-keras ketika melihat Tami cemberut, lalu terdiam. Kemudian berkata, "Nanti kuceritakan."
"Sekarang!"
"Nanti..."
"Terserah!"
Remba mengangguk tanpa suara dengan mata dipenuhi kilat kemarahan, kedukaan, dan kepahitan. "Kita ke pondokan."
Mereka berjalan bersisian tanpa suara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Tami mengenal Remba sebagai lelaki yang sinis pada nestapa, yang tabah menanggung pahit nasib, yang jarang mengaduh atau mengeluh.
Ia terkejut melihat Remba jauh berubah. Tampak menua lebih cepat dari semestinya. Barangkali ada sesuatu yang terjadi di Makassar. Barangkali ia kecewa pada dirinya sendiri. Barangkali ia setengah mati menahan kesedihan.
Beranda pondokan lengang. Mereka duduk di sofa hijau lumut dan sama-sama diam. Bendera merah putih berkibar-kibar di pekarangan. Jalan raya sepi. Motor atau mobil hanya sesekali melintas.
"Lamaranku ditolak," ujar Remba seraya mengusap wajahnya.
Tami tersentak. Seperti mendengar cetar halilintar. "Kamu mau menikah?"
Remba terperangah. "Maksudmu?"