"Pasti!" Tami memberengut. "Kamu tahu kalau aku ini manusia biasa."
"Bedakan bahwa dengan kalau." Remba menatap Tami lekat-lekat. "Kata sambung 'bahwa' berfungsi untuk 'menjelaskan', sedangkan 'kalau' digunakan untuk 'menyatakan syarat'. Tadi kalimatmu keliru. Mestinya 'kamu tahu bahwa aku ini manusia biasa'. Bandingkan dengan kalimat ini. Kalau kamu mau pergi, pergi saja, asal jangan suatu ketika kamu kembali kepadaku."
"Berengsek!" Tami mendelik. Dadanya membara. Api berkobar-kobar di kepalanya. "Kamu lebih peduli kepada bahasa Indonesia!"
"Bukan 'kepada', Tami Sayang. Cocoknya 'pada'. Biasanya kamu tidak begini!"
"Kunyuk!"
"Aku tidak melamar perempuan mana pun!"
Tami tersentak. "Tadi kamu sudah mengaku."
"Pendengaranmu masih tajam, Yang," kata Remba seraya tersenyum, "tetapi kamu salah tafsir. Lamaranku memang ditolak, tapi lamaran kerja!"
Bahu Tami seketika terguncang-guncang. Tawanya berderai memenuhi udara. Bergema beberapa saat, lalu terhenti sendiri karena ia menyeka air yang mencicik dari matanya. Ia berdiri dan memukul-mukul lengan Remba. Ia mendesiskan "berengsek" berkali-kali.
"Mesra-mesraan di tempat terbuka!"
Teguran itu sontak membuat Remba dan Tami terpangah. Serentak mereka menoleh ke pintu pagar.Â