Cinta memang asing pada kata menyerah.
Portugal memiliki kenangan pahit setiap bertemu tim Asia. Pada Piala Dunia 2002, Portugal ditaklukkan tim tuan rumah saat itu, Korea Selatan, dengan skor 1-0. Artinya celah mengalahkan Portugal masih ada, sungguhpun tidak lapang. Fakta itu kian menguatkan harapan suporter Iran. Semacam hujan sejam setelah kemarau sepanjang tahun.
Doa terus mengalir. Pendukung Iran percaya pada kuasa doa. Menyitir petuah Aristoteles, doa memberikan kekuatan pada orang yang lemah, membuat orang tidak percaya menjadi percaya dan memberikan keberanian pada orang yang ketakutan.
Itulah tiga kuasa doa.
Dalam peraturan, tindakan menyikut akan mendatangkan kartu merah. Tak peduli siapa pun pelakunya, termasuk Lionel Messi atau Ronaldo.
~ Carlos Queiroz, Pelatih Iran
Sepanjang babak pertama, Singa Persia membuat Ronaldo bagai macan ompong. Mondar-mandir di lapangan seperti ayam jantan kehilangan taji. Suporter Iran terus bernyanyi. Modal satu kemenangan sudah dikantongi. Satu kemenangan lagi akan mengamankan posisi.Â
Tetapi, ketangguhan cinta harus diuji. Mengaku cinta saja belum cukup. Semua orang pasti sanggup mengaku cinta. Jadi, harus ada bukti seberapa tabah menahan nestapa. Itu yang tidak sembarang orang sanggup melakukannya. Menjelang babak pertama kelar, Quaresma, si gaek yang masih tokcer, merobek jala Iran. Nyanyian cinta suporter Iran tetap membahana.
Wasit dari Paraguay, Enrique Caceres, mulai menguji cinta suporter Iran pada menit ke-50. Saat itu, Ronaldo menggocek bola ke kotak penalti Iran. Ia tabrakan dengan seorang pemain belakang. Ajaib, tubuh kekar nan atletis justru terjengkang secara dramatis. Yang kekar mendadak lunglai. Wasit menatap layar video assistant referee (VAR).
Hasilnya, penalti.