Perempuan di Iran memang dilarang menonton sepak bola di stadion sejak Revolusi Iran. Maka, sejak 1979, kaum perempuan cuma boleh mengumandangkan doa dan menyorakkan cinta di depan televisi.Â
Kini tidak lagi. Ketika laga Iran-Spanyol, yang berakhir kekalahan 0-1, kaum perempuan meriuhkan Stadion Azahadi, Teheran, pada Rabu (20/6) lalu. Mereka takzim merajut cinta dan tekun menjalin doa di depan layar lebar yang dipasang di dalam stadion. Tak apa kalah, sebab cinta bukan sebatas perkara menang atau kalah.
Sementara itu, kaum perempuan Iran yang melakukan perjalanan dan menonton laga secara langsung di Rusia, juga merayakan kebahagiaan di dalam stadion. Tak ayal, suporter Iran sangat antusias menunggu partai pamungkas melawan Portugal.
Kaum perempuan Iran yang menyukai sepak bola dan mencintai tim nasional mereka adalah suporter militan. Suporter Garis Keras. Betapa tidak, sebagian dari mereka pernah menyamar sebagai lelaki demi menonton di stadion. Mereka berani. Bernyali. Alasannya cuma satu: Cinta.
Sebelum Piala Dunia 2018, perempuan Iran persis seperti munajat rindu Fiersa Besari. Beberapa rindu memang harus sembunyi-sembunyi. Begitulah yang terjadi. Rindu pada prestasi Timnas Iran mesti dilakukan sembunyi-sembunyi. Bukan untuk disampaikan, hanya untuk dikirimkan lewat doa. Kini tidak lagi. Mereka sudah bisa sebahagia dan secinta lelaki dalam mendukung pejuang lapangan hijau.
Ibu yang merajut cinta, dengan kabel-kabel listrik, di kantuk mata, yang hampir khatam.
~ Joko Pinurbo, Malam Ibu
Singa Persia bukan tim kacangan. Piala Dunia 2018 merupakan piala dunia kelima bagi Iran setelah Piala Dunia 1978, 1998, 2006, dan 2014. Iran pernah tiga kali jadi juara Piala Asia dan meraup empat medali emas Asian Games. Tak ayal, Iran amat disegani di kancah sepak bola Asia.
Sayang sekali, Iran belum pernah menang melawan tujuh  tim asal Eropa selama keikutsertaan mereka di Piala Dunia. Enam kali kalah dan sekali seri. Iran sukses mengimbangi Skotlandia, 1-1, yang terjadi pada penyisihan Grup 4 Piala Dunia 1978 yang dihelat di Argentina.Â
Namun, suporter menolak patah arang. Mereka yakin bahwa serdadu Tim Melli laksana ibu yang merajut cinta. Mereka percaya bahwa segala yang berasal dari ibu bermula dari cinta. Kendatipun ibu merajut cinta dengan kabel-kabel listrik, di kantuk mata, yang hampir khatam.