Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gonjang-ganjing Gaji Ibu Mega dan Kolega

28 Mei 2018   20:24 Diperbarui: 26 Mei 2019   14:38 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Hingga saat ini warganet masih riuh. Boleh dikata hampir mendekati ricuh. Dunia maya gempar. Saking dahsyatnya peristiwa yang menggemparkan ini, dua gosip terpanas dan terkini dilibas tanpa ampun. Ulah beringas Ramos terhadap Salah tenggelam begitu saja. Kekecewaan pada Iqbaal dan Hanung pun tinggal sesekali dibahas. 

Peristiwa apa gerangan yang sebegitu dahsyat? Di Twitter santer didaras. Di Facebook gencar dibahas. Di Kompasiana sudah beberapa kali diulas. Di warung kopi depan rumah saya saja terus dikupas. Sangat ramai.

Jadi begini. Sembilan Sepuh mendadak gencar dibincangkan. Benar. Jumlahnya sembilan. Persis jumlah wali masyhur di Tanah Jawa, Wali Songo. Supaya saya enteng menulisnya dan kamu mudah membacanya, saya namai saja para sepuh itu dengan Sepuh Songo. Lebih cocok. Oke, sip. 

Jangan bilang saya bercanda. Saya serius. Tugas Sepuh Songo itu berat dan mulia. Seberat dan semulia tugas Wali Songo dahulu kala. Bedanya hanya pada apa yang disampaikan dan bagaimana menyampaikan. Wali Songo mengurusi agama, Sepuh Songo mengurusi Pancasila. 

Jangan kira saya tengah mengolok-olok. Tidak. Ini pemuliaan. Kalau kamu dan teman-temanmu bikin organisasi, kemudian mengeluarkan peraturan, maka peraturan itu pasti kamu anggap sakral. Iya, kan? Apalagi Sepuh Songo. Mereka disahkan lewat Peraturan Presiden dan disahihkan alias dilantik oleh Presiden Jokowi. Kurang sakral apa cobak?

Jadi, atas nama sakralitas penamaan akan saya gunakan Sepuh Songo.

Siapa saja Sepuh Songo itu? Paling depan ada Megawati Soekarno Putri. Disusul Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya. Jangan ragukan kompetensi dan kredibilitas mereka. Pasti jago, pasti mumpuni. Kita tahu itu. Mungkin rakyat juga tahu.

Lantas apa sebabnya warganet riuh dan ricuh? Gaji melimpah. Itu perkaranya. Gaji Sepuh Songo bertumpu pada Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Ketuanya, Ibu Mega, diupah oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia sebesar Rp112.548.000 tiap bulan. Delapan anggotanya berhak atas upah sebesar Rp100.811.000 per bulan.

Tidak hanya Sepuh Songo yang bakal diupah negara sedemikian tinggi. Kepala BPIP, Yudi Latif, diupah Rp76.500.000. Wakil Kepala Rp63.750.000, Deputi Rp51.000.000, dan Staf Khusus Rp36.500.000. Masih ada selain upah bulanan. Pimpinan, pejabat, dan pegawai BPIP juga akan menerima fasilitas lain berupa biaya perjalanan dinas.

Menurut Pak Mahfud yang sempat curhat lewat akun twitternya, @mohmahfudmd, selama ini beliau belum pernah menerima gaji. Beliau dan kolega juga tidak berniat pamrih. Mereka tulus bekerja demi negara. Begitu tutur beliau. Tidak percaya? Silakan tengok akun twitter doi.

Sekadar informasi buatmu. Sebelumnya, pada 7 Juni 2017, Sepuh Songo dilantik Presiden Jokowi sebagai Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPPIP). Pada 28 Februari 2018, nama lembaganya diganti menjadi BPIP. Lebih singkat, tetapi stratanya meningkat hingga sederajat menteri. 

Pak Mahfud tidak salah. Memang mereka belum digaji. Kenapa begitu? Kita juga tahu keleus. Peraturan Presiden baru ditandatangani Presiden Jokowi pada 23 Mei 2018. Setelah itu baru cair gajinya. Lagi pula, bisa saja gaji dirapel dari Juni 2017 hingga Mei 2018. Jika itu terjadi, setiap anggota Sepuh Songo berhak atas rapelan sebesar Rp1.209.732.000. Muke gile! Fantastis! 

Bagi saya, ada tiga alasan remeh mengapa Sepuh Songo diupah ratusan juta. 

Pertama, nama dan kredibilitas. Ibu Mega, misalnya. Beliau mantan Presiden RI ke-5, Ketua Umum PDIP atawa partai yang tengah berkuasa, plus putri Bung Karno yang identik dengan Pancasila. Nggak enak kalau upah beliau setara gaji Ketua BPK yang cuma lima jutaan. Maka lumrah jikalau upah beliau lebih besar. 

Try Soetrisno? Beliau jenderal purnawirawan dan mantan wakil presiden. Mahfud MD? Beliau mantan menteri dan mantan Ketua MK. Ahmad Sjafii Maarif? Beliau mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Yang lain juga begitu. Kalau bukan mantan ini, pasti mantan itu. Mantan harus diupah mahal.

Kedua, tugas mereka berat dan mulia. Sepuh Songo ini adalah Dewan Pengarah. Siapa yang diarahkan? Presiden. Itu berat loh. Gembala mengarahkan kambing saja susah. Ayah mengarahkan anak saja tidak mudah. Kalau yang diarahkan sedang penurut sih tidak apa-apa. Bagaimana kalau sedang bandel dan tidak mau mendengar? 

Perkara apa yang akan mereka arahkan? Pancasila. Ini mulia, loh. Kita menunjukkan arah jalan kepada orang yang tersasar dan tersesat saja sudah mulia, apalagi mengarahkan hal-hal yang berkait-paut dengan Pancasila. Saya rasa, Dilan pun tidak sanggup menanggungnya. Mungkin Dilan belum pernah ikut Penataran P-4 berjam-jam. Mungkin juga ia tidak hafal 36 butir Pancasila. Mungkin, loh!

Ketiga, rezeki anak saleh. Dulu Ibu Mega sebenarnya masih ngebet maju jadi Capres. Dua kali dikalahkan SBY tentu menyakitkan. Tetapi Wong Cilik menghendaki Jokowi yang naik ke ring pilpres melawan Prabowo. Beliau ikhlas dan memberi jalan. Kalau beliau tidak ikhlas, Jokowi tidak akan jadi Presiden RI. Nah, ini yang disebut rezeki anak saleh. Atau, kalau sudah rezeki tidak akan ke mana. 

Lagi pula, mereka sudah sepuh. Sebentar lagi Lebaran. Biarkan mereka tidak cemas menghadapi Lebaran. Mereka sudah dipastikan menerima gaji bulanan. Mungkin dapat THR dan Gaji-13 pula. Besar sekali. Cukuplah buat angpau cucu-cucu dan cicit-cicit. 

Saya, juga kalian, mestinya turut berbahagia atas rezeki mereka.

Lantas mengapa warganet riuh dan ricuh? Kontan upah sebegitu gede bikin gaduh. Betapa tidak. Saat ini daya beli rakyat sedang rendah. Ekonomi tengah terimpit. Petani diserbu barang impor. Beras diimpor, garam diimpor. Apa saja diimpor. Penganggur bertambah, tenaga kerja asing membludak. Lapangan kerja kurang, PHK malah menjamur. 

Di tengah kesulitan ekonomi itu, kaum elite bagi-bagi uang. Wajar kalau banyak yang berteriak. Wajar bila banyak yang protes. Teriakan dan protes itu sebenarnya lumrah. Utang negara mencapai 4.000 triliun. Rupiah kian lemah syahwat. Ndilalah, Sepuh Songo malah bertabur rupiah. Teriakan dan protes itu bertolak pada asas kepantasan, kelayakan. dan kepatutan.

Berikut tiga pertanyaan receh saya terkait pantas, layak, atau patutnya upah segede itu.

Pertama, apakah pantas upah segede itu di tengah nestapa warga negara? Bagi saya, ada pantas-pantasnya. Jangan bandingkan upah tukang bersih jalan dengan upah Sepuh Songo. Jauh panggang dari api. Jauh panggung dari pemirsa. Jauh bulan dari pungguk.

Kedua, apa layak upah segede itu di tengah rendahnya daya beli masyarakat? Bagi saya, layak-layak saja. Rakyat kecil bisa apa atuh. Presiden yang berkuasa menentukan apa yang baik menurut beliau. Rakyat cukup berpuasa, bukan berkuasa. Para elite itu nanti akan memikirkan Pancasila. Ada sila tentang keadilan sosial di dalamnya. Mereka pasti mengarahkan Presiden untuk memikirkan keadilan bagi rakyat. Iya, kan?

Ketiga, apa patut upah segede itu di tengah utang negara yang menumpuk? Bagi saya, patut-patut saja. Rakyat Indonesia makin patuh membayar pajak. Ini kabar gembira. Kita bayar pajak demi membayar upah para pekerja yang, percaya saja, akan bekerja sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat. Itu berarti rakyat makin bagus ibadahnya. Jangan kayak rakyat tetangga yang semringah karena upah pejabatnya disunat hingga 10%. 

Kita tidak setega atau sepelit itu.

Asas kepantasan, kelayakan, dan kepatutan itu biar kita simpan di dalam hati. Percuma saja. Gerunyam dan gerutu seheboh apa pun belum tentu membuat Sepuh Songo berpikir. Loh, jangan menuntut terlalu banyak. Mereka harus memikirkan arahan untuk Pak Presiden. Jangan tambah beban mereka. Mari bersikap toleran. Biar kita disebut Pancasilais. Biar nanti kita tidak berat hati meneriakkan slogan: Aku Pancasila.

Lantas apa lagi yang diriuhkan dan diricuhkan warganet? Rata-rata warganet takjub karena upah Sepuh Songo lebih "wah" dan "wow" dibanding upah Presiden. Oh, ya? Begitulah adanya. Gaji Presiden Jokowi cuma Rp62.740.030. Itu berasal dari gaji pokok sebesar Rp30.140.000 dan tunjangan jabatan sebanyak Rp32.500.000. Adapun upah Wakil Presiden JK hanya Rp42.160.000. Gaji pokoknya Rp20.160.000 ditambah tunjangan sebesar Rp22.000.000.

Jauh banget dibanding upah Ketua dan Anggota Dewan Pengarah. Padahal Sepuh Songo bertugas membantu Presiden Jokowi. Namanya membantu berarti pembantu. Di sinilah ajaibnya. Gaji pembantu lebih besar dibanding yang dibantu. Istilahnya, upah pembantu lebih tokcer ketimbang gaji majikan.

Akan tetapi, jangan salahkan Presiden Jokowi. Mestinya menteri terkait yang menerawang layak, pantas, atau patut upah sehebat itu. Apakah Mensesneg, Menteri PAN/RB, dan Menteri Keuangan lalai melakukan kajian? Ah, tidak baik berprasangka buruk. Ketiganya pasti sudah berpikir matang-matang. Mana tahu malah berpikir gosong-gosong. 

Ingat, tugas khusus Sepuh Songo itu tidak mudah. Jadi pembantu. Tidak tanggung-tanggung, membantu Presiden Jokowi dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. Berpikir positif saja. Oke? Sip!

Lagi pula, membanding-bandingkan upah Sepuh Songo dengan gaji Presiden Jokowi bernuansa merendahkan. Akibatnya bisa runyam. Salah-salah gaji Presiden Jokowi dinaikkan. Bisa-bisa pajak digenjot atau utang negara bertambah. Ribet, ya? 

Lantas kenapa tidak boleh membanding-bandingkan upah Sepuh Songo dengan gaji Presiden? Jawabannya mudah. Pembandingnya keliru. Gaji Presiden kita mbok ya dibandingkan dengan gaji Presiden di negara lain. Itu baru seimbang, setanding, atau setara. 

Sekarang mari kita lihat upah kepala negara yang lain. Gaji PM Singapura, Lee Hsien Loong, sebesar Rp30,3 miliar per tahun. Gaji Presiden Swis, Doris Leuthard, sebesar Rp6 miliar per tahun. Berikutnya upah PM Australia, Malcolm Trunbull, sebanyak Rp5,5 miliar per tahun. 

Lalu  bandingkan dengan gaji Presiden Jokowi. Upah sebesar Rp62 juta per bulan hanya mencapai Rp740 juta per tahun. Gila. Jauh sekali dibanding gaji PM Australia dan Presiden Swis. Apalagi dibanding upah PM Singapura. Sungguh jomplang. 

Apa iya rakyat tidak iba melihat kejomplangan itu? Ini menyangkut harkat dan martabat bangsa. Sedemikian banyak rakyat yang diurus, tetapi gaji presidennya hanya sebegitu. Mestinya kita gerah. Atau malu. Mestinya kita sedih. Atau iba. Kasihan Pak Jokowi. Gajinya di republik terkasih ini bukan yang tertinggi, kalah ketimbang gaji Sepuh Songo. Gajinya sesama Kepala Negara juga jauh dari setara.

Tetapi kalian tidak perlu khawatir. Saat ini, seperti yang saya dengar dari selenting kabar, tengah digodok RPP tentang perbaikan dan penaikan gaji Presiden. Hmmm. Kita lihat saja nanti.

Sudah dulu, ya. Kasihan kamu letih membaca gonjang-ganjing gaji Ibu Mega dan koleganya. Maksud saya, Sepuh Songo. Padahal kamu tidak saya gaji. Maaf, ya. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun