AKU INGIN mengisahkan kepadamu sebuah riwayat, sebagaimana orang-orang dulu turun-temurun mengisahkannya. Aku tidak yakin kamu akan menyukainya. Tak apa. Alangkah naif apabila cerita saja harus kita tumpukan pada keyakinan. Jadi santailah. Masuklah ke kamarmu atau ke kakusmu atau ke tempat mana saja di dekatmu yang bisa membuatmu sejenak bebas dari usikan orang.
Jika kamu sudah siap, bacalah dengan suara nyaring seperti saat kamu masih di sekolah menengah dan Kepala Sekolah membacakan teks Pancasila. Atau cukup di dalam hati biar hatimu sempat bercakap-cakap denganmu.
Bukankah kamu belakangan ini jarang mengobrol dengan dirimu sendiri? Bukankah beberapa hari ini kamu direpotkan bagaimana kata orang atau apa kata orang atau yang serupa dengan itu? Maaf, aku terlalu sok tahu atas apa yang kamu alami. Padahal itu pengalamanku sendiri.
Baiklah. Sudah waktunya kamu tahu kisah turun-temurun ini.
***
DUA MURID Guru Zen sedang melakukan perjalanan. Bukan perjalanan biasa, melainkan praktik langsung atas pelajaran yang telah mereka terima dari Sang Guru.
Murid Kesatu berbadan kecil berkulit kekuningan. Murid Kedua berbadan tinggi tegap berkulit agak kecokelatan. Murid Kesatu bersuara lembut. Bila ia bicara seolah-olah seluruh isi alam takzim mendengarnya. Murid Kedua bersuara keras. Bila ia berbicara seolah-olah seluruh isi alam patuh menyimaknya. Sepanjang perjalanan mereka bahu-membahu, tolong-menolong, dan ingat-mengingatkan.
Setelah berbulan-bulan melaksanakan amanat yang diemban, mereka berencana pulang ke pertapaan Sang Guru Zen. Sebut saja Laporan Perjalanan. Tentu bukan perjalanan yang mudah dan menyenangkan, tetapi kegembiraan bakal bertemu guru tercinta menggelimuni dada. Gunung dan lembah mereka lalui dengan riang. Hutan gelap mereka lewati begitu gembira.
Hingga mereka tiba di sebuah desa yang baru saja dilanda banjir. Rumah-rumah dan pohon-pohon bertumbangan. Mayat-mayat bergelimpangan. Air yang mulai surut setinggi mata kaki penuh lumpur. Kedua murid Sang Guru Zen itu tidak surut. Mereka terus melangkah, meski kaki berat diayunkan.
Lalu mereka mendengar teriakan, seperti suara seseorang yang meminta pertolongan. Meskipun pandangan keduanya terhalang, suara itu lamat-lamat terdengar. Mereka bergegas dan terkesiap melihat seorang gadis, dengan pakaian penuh noda lumpur tersingkap di beberapa bagian, berdiri dengan muka pucat pasi.
Murid Kesatu mengucek-ngucek matanya. "Ajaib, masih ada yang selamat."