Perlu disadari, “beriman” saja belumlah cukup bagi seorang (calon) pengarang. Ada hal lain yang mesti dilakukan setelah kita beriman. Namanya, “beribadah”.
Bersyukurlah kita karena tak perlu berpayah-payah mengguratkan ide di permukaan “batu tulis”, atau kerap dinamai sabak. Beruntunglah kita karena teknologi telah menghadirkan sabak dalam bentuk lain, yakni sabak elektronik (baca: gawai).
Lebih bersyukur dan beruntung lagi karena kita tidak harus berpayah-payah menulis di lembaran daun lontar. Sekarang kita punya kertas dan mesin cetak. Begitu ada ide, jalan ibadah sudah sedemikian mudah. Tinggal tanak, olah, dan racik.
Persoalan baru yang bakal muncul adalah seberapa tekun kita “beribadah”! [kp]
Catatan:
[1] Of Grammatology, Baltimore and London: The John Hopkins University Press.
[2] Beberapa karya Steinbeck telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain Dataran Tortilla yang diterjemahkan oleh Djoko Lelono, karya lainnya adalah Cannery Row (2001, oleh Eka Kurniawan), Tikus dan Manusia (1950, oleh Pramoedya Ananta Toer dari Of Mice and Man). Selengkapnya bisa dilihat dalam Ensiklopedi Sastra Dunia karya Anton Kurnia, diterbitkan oleh Indonesia Buku pada 2006, halaman 189.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H