Belum lagi Muhidin M. Dahlan yang akhirnya mengubur hasrat menulis novel akibat Adam dan Hawa yang menuai banyak kecaman.
Ada banyak pengalaman yang bisa disuguhkan sebagai contoh dan tulisan ini akan menjadi sangat panjang. Ada yang kemudian “bertemu jodoh” dan tetap bersetia dengan laku kepenulisan. Damhuri Muhammad, misalnya. Ada pula yang hilang dan tak ditemukan lagi jejak karyanya.
Baik yang bertahan maupun yang akhirnya “hilang” mengalamatkan bahwa dunia menulis itu bukan alam mulus. Akan banyak perintang sepanjang perjalanan: dari masyarakat, kerabat, dan diri penulis itu sendiri.
Agar bisa bertahan menghalau perintang-perintang itu dibutuhkan “iman yang kuat”. Iman yang tidak gampang goyah, apalagi dirobohkan. Makin kuat iman itu mengakar di kedalaman jiwa, makin ulet seseorang menempuh jalan kepengarangannya.
Iman itu perlu, sangat perlu. Dalam keyakinan Walter Scott, “Bila seseorang ingin menaiki sebuah tangga, ia harus mulai dari anak tangga pertama.”
Tidak seorang penulis pun yang sekonyong-konyong bisa menghasilkan karya bernas. Ibarat menapak tangga, mereka melampaui banyak proses—sebagian besar “berdarah-darah”. Dan, tangga pertama yang harus dilaluinya adalah “beriman”.
Inilah Rukun Iman Penulis Itu
Sepanjang manusia memerlukan keseimbangan antara pertumbuhan jiwa dan jasmani, juga kepuasan jasmani dan rohani, sepanjang itu pula manusia membutuhkan karya seni—termasuk di dalamnya karya sastra. Dengan demikian, kebutuhan manusia atas karya sastra akan selalu ada.
Guna memenuhi kebutuhan itu, kehadiran pengarang amat penting dan akan selalu dirindukan oleh khalayak penikmat. Lantaran kebutuhan itu mengabadi, maka masing-masing penulis mesti menyadari bahwa mereka harus selalu bergerak, bergeliat. Mereka tidak boleh statis di tempat yang sama. Kualitas karya harus ditingkatkan adalah sebuah keniscayaan.
Oleh karena itulah dibutuhkan “iman”.
Kita bisa belajar pada John Ernst Steinbeck, novelis yang karya pertamanya, Cup of Gold, ditolak oleh tujuh penerbit.[2] Ia tidak patah arang. Ia terus menulis dan mencoba bertahan hidup sebagai sopir, tukang kayu, tukang batu, bahkan buruh pemetik buah.