Dengan demikian, wajar bila kemudian penulis meyakini bahwa kecendekiaan dan kepengarangan adalah dua sisi uang logam yang tak terpisahkan.
Apabila atlet menjadikan latihan sebagai makanan pokok dan vitamin sebagai asupan tambahan bagi kemajuan prestasinya, hal sama berlaku bagi penulis. Menulis kita anggap sebagai latihan rutin untuk meningkatkan kemampuan, membaca adalah vitamin yang membuat “tubuh cerita” lebih kokoh.
Lewat aktivitas membaca akan tertemu rahasia menjalin alur cerita, mencipta tokoh, atau mengulik peristiwa. Kita bisa pula merekam banyak gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang lain, hingga pada muaranya kita akan bersua dengan gaya bahasa kita sendiri.
Singkat kata, mustahil menghasilkan karya yang apik tanpa “iman rakus baca”.
Guntur Alam, seorang cerpenis, malah kerap menemukan karakter tokoh lewat teman seperjalannya di kereta. Bamby Cahyadi, juga seorang cerpenis, kerap menemu plot dari peristiwa yang terjadi di restoran cepat saji tempatnya bekerja.
Kadang kala ada tulisan kita yang ditolak oleh media massa atau penerbitan. Pada saat seperti itu tidak usah bermuram durja. Kirim lagi naskah itu ke tempat lain. Bisa jadi penolakan terjadi lantaran karangan itu tak cocok dengan misi media massa atau penerbitan yang menolak, namun pas dengan selera media massa atau penerbitan yang lain.
Banyak yang pernah mengalami hal sedemikian. Ada cerpennya yang ditolak oleh sebuah koran, kemudian ia kirim ke koran lain. Tiga pekan kemudian, cerpen yang pernah ditolak itu hadir ke tengah khalayak.
Pada Akhirnya…