Mohon tunggu...
Taufik AAS P
Taufik AAS P Mohon Tunggu... Penulis - jurnalis dan pernah menulis

menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Parakang

2 Januari 2018   23:58 Diperbarui: 3 Januari 2018   23:00 1848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai berkumpul di kantor camat, kami para mahasiswa KKN dilepas ke desa masing-masing. Aku bersama liman teman ditempatkan pada desa paling gunung. Pokoknya disekelilingi gunung dan suasannya sunyi, namun penduduknya cukup ramah dan bersahabat.

Aku, Bonte, serta temanku Dullah dan Kadir hanyak mondok saja di rumah Kades yang namanya Pak Jumadi, yang lainnya ditempatkan di rumah warga. Kades Jumadi  ini tinggi besar, kulitnya hitam dengan kumis tebal pula. Suka merokok keretek, kopinya juga kental dan suka membawa golok kalau bepergian.

"Siapa yang koordinatornya."

"Kordes-nya Pak Desa."

Kadir perjelas pertanyaan Kades Jumadi, maksudnya Koordinator Desa. Pria kumis tebal itu mengangguk sambil mulutnya terbuka perlihatkan gigi-giginya yang kekuningan.

"Saya Pak Desa, Bonte."

Aku berdiri dan duduk lagi di kursi. Kami bertiga ditambah Kades Jumadi, memang lagi duduk-duduk usai makan malam bersama. Sementara anak dan istri Kades sudah duluan masuk bilik. Mungkin kebiasaan mereka, apalagi  belum ada listrik, hanya penerangan pelita buatan setempat.

"Karena kalian baru masuk di desa ini, ada beberapa hal yang perlu diketahui. Di Desa Temmubulu ini masyarakatnya masih kolot dan sangat percaya hal-hal gaib, juga banyak tempat-tempat dikeramatkan. Paling penting kalian tahu, di sini itu banyak Parakang."

"Apa Pak Desa."

Kadir menyoal sambil mencubitku. Dasar penakut, dikiranya aku tidak perhatikan apa yang dikatakan Kades. Kalau Dullah matanya tidak berkedip manatap Kades Jumadi.

"Ya, Parakang."

Kades Jumadi pertegas lalu menatap kami satu-satu dengan mimik yang menyeramkan. Ia lalu mengisap kreteknya dalam-dalam, kemudian asapnya dikepulkan ke udara. Kami bertiga memandangi pria paruh baya ini penuh selidik dan tanya.

Kades Jumadi perbaiki posisi duduknya lalu mulai jelaskan. Ia katakan kalau Parakang itu adalah manusia biasa yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Penampilannya biasa-biasa saja, tidak menyeramkan, bahkan cewek-ceweknya cantik dan rambutnya indah.

"Kalau kalian masuk rumah penduduk, dalam rumah itu ada lubang di dinding tapi bukan jendela, tidak pakai penutup dan bisa orang lewat. Ah, itulah rumah Parakang. Perhatikan baik-baik itu Bonte."

Karena menyebut namaku, aku lalu bertanya.

"Parakang itu, bisa sakiti kita manusia biasa Pak Desa."

"Iya, bisa bunuh kita dengan memakan bagian dalam tubuh. Caranya, Parakang itu isap dubur, kemudian ikut jantung, hati dan lain-lainnya. "

"Ngerih."

"Ngerih."

"Ngerih."

Hampir bersamaan kami bertiga tanpa sadar katakan rasa takut. Kades Jumadi tersenyum lalu mengangkat tangannya menunjuk ke arah sudut rumah.

"Jangan takut, itu di sana ada penawarnya."

Kami heran yang ditunjuk hanya sebatang kayu berlekuk-lekuk berwarna kecoklatan. Melihat longoan kami, Kades Temmubulu ini jelaskan, kalau tongkat berlekuk itu adalah akar batang kelor. Menurutnya, Parakang sangat  takut pada  akar jenis sayuran itu. Kalau akar kelor dipukulkan pada Parakang, bisa kesakitan dan mati.

//

Pertemuan di Balai Desa Temmubulu membuat kami melupakan cerita Parakang dari Kades Jumadi. Rakyat di desa ini ternyata luar biasa baik dan ramah pada kami anak-anak KKN. Dengan mudah kami berkenalan dengan para warga desa itu, mulai dari nenek-nenek, kakek-kakek, ibu-ibu, janda-janda, gadis-gadis hingga boca-boca kami salami dengan hangat.

"Saya Bonte."

"Saya Lina."

Aku berkenalan dengan anak kepala dusun, ia kelihatan terpelajar dan lebih maju berpikirnya. Dalam pertemuan dengan mahasiswa KKN, ia banyak bertanya. Ia juga adalah honorer di kantor desa.

Kades Jumadi menyenggol saat melihat aku menyalami anak kadusnya. Aku merasa tidak enak dan segera bergabung dengan teman-teman yang lain. Di sana Kadir dan Dullah senyum-senyum melihat ke arahku.

//

Malam itu, aku tidak bisa pejamkan mata, kata orang, lagi gelisah. Pikiranku melayang ke wajah Lina. Gadis itu cantik, rambutnya indah dengan bibir mungil. Meskipun gadis desa tetapi bisa membawa diri dan tidak kolot.

Dullah dan Kadir sudah duluan melambai berlayar bersama mimpi-mimpinya. Aku melihat jam dinding sudah menunjukkkan pukul 00.00 dini hari. Kudengar anjing pak Desa melolong panjang, membuatku jadi takut. Jangan-jangan banyak Parakang berkeliaran, karena menurut kades, Parakang itu cari mangsa di malam hari. Katanya pula, seorang Parakang bisa jelajahi  hingga tuju desa dalam semalam.

Saat ayam-ayam jago Kades Jumai berkokok, mataku terpejam. Aku tertidur  pulas.

//

Aku mengiayakan saat  Kades Jumadi perintahkan untuk menemani Lina lakukan pendataan ke rumah-rumah warga. Dengan motor dinas kades, aku bonceng gadis desa itu keluar masuk kampung. Meski jalannya belum beraspal aku tidak capek sama sekali. Bahkan sangat berterima kasih kalau motornya terguncang, artinya Lina tanpa sadar bisa memelukku.

"Eh, maaf."

"Tidak apa-apa. Pegangan saja, jalannya kurang bagus."

Hingga sore, aku dan Lina pulang. Tetapi tidak lansung ke rumah kades. Gadis itu mengajakku ke rumahnya, sekalian bertemu ayahnya yang juga salah satu Kadus.Hitung-hitung bisa memberikan referensi soal dusunya.

Ayah Lina menjabat erat tanganku dan mempersilahkan masuk dalam rumahnya. Ibu dan adeknya juga ikut bersalaman denganku, lalu masuk ke dalam. Lina juga, tidak ikut duduk bersama kami, tetapi ke dalam pula.

"Anak, baru pertama kalinya kan di dusun sini."

"Iya Pak Kadus."

"Siapa namanya lagi."

"Bonte, Kadus."

"Nama yang sangat pendek."

"Iya, tapi lengkapnya, Bonte bin Bilokka."

Kadus tertawa melihat keseriusanku menjawab. Ia lalu menepuk lututku sembari katakan, tidak usah terlalu formil, santai saja.

"Jangan terlalu tegang nak Bonte, anggaplah rumah sendiri."

"Iya pak."

"Bonte, di kampung sini itu masih sedikit kolot, masyarakat percaya hal-hal mistik. Mereka masih percaya kalau ada manusia Parakang. Katanya manusia bisa memakan manusia."

Kadus itu ceritakan ulang soal Parakang, seperti yang diceritakan Kades Jumadi. Namun Kadus tidak jelaskan, kalau ada lubang di dinding untuk rumah Parakang. Tak lupa pula ayah Lina ini tenangkan dengan menunjuk ke sudut ruangan, di sana ada tongkat akar kelor pula.

Lalu dari dalam Lina membawa bakik berisi cangkir, bawa kopi rupanya. Hemm, tambah cantik saja gadis itu dimataku. Melihat anaknya keperhatikan dari jauh, Kadus batuk-batuk kecil membuat  aku mengalihkan pandangan ke dinding.

"Itu lubang angin nak Bonte, jadi dibiarkan terbuka begitu. Rata-rata rumah di sini ada lubang angin model begitu. Kalau pak desa, ia membuat lubang seperti itu  kamarnya, biar ia bisa sejuk kalau siang hari."

"Silahkan minum nak Bonte. Tidak ada kuenya. Hanya ini kacang tanah rebus."

Suara Kadus membuatku berpaling dari lubang di dinding. Aku tidak habis pikir cerita Kades Jumadi, lubang di dinding itu pertanda penghuni rumahnya Parakang. Kades juga punya lubang di kamarnya.

Aku mulai minum kopi hidangan Lina itu dengan pelan dan mengambil kacang rebus yang disorongkan oleh Kadus. Kulihat orang tua senyum-senyum dan terus perhatikan gerak-gerikku yang was-was.

"Sebagai orang baru di kampung ini, Bonte harus hati-hati dengan Parakang. Apalagi saya lihat wajahnya cukup gagah, nanti kecantol sama gadis keturunan Parakang, he he he."

Kadus ketawa kecil  sambil terus mengunyak kacang rebus. Sesekali ia seruput kopinya dan isap dalam-dalam rokoknya.

"Sudah malam Pak Kadus, saya pamit."

"Iya, silahkan. Hati-hati ya."

Kadus mengantar sampai di pintu. Tak lupa memberikan sebutir bawang merah bersiung tunggal. Katanya untuk pengusir setan. Karena perjalanan ke rumah Kades masih cukup jauh.

//

Satu purnama kami di Desa Temmubulu, membuat kami bertiga sudah menyatu dengan masyarakat. Aku dan Lina, entah kapan jadiannya, telah menjelma  pula jadi sepasang kekasih. Orang tuanya menganggapku baik dan tidak khawatirkan kalau anaknya kuajak ke kota jalan-jalan.

"Lina, saya mau Tanya."

"Silahkan."

"Andainya kita menikah nanti."

"Ya."

"Apakah kita akan bangun rumah dengan lubang di dindingnya."

"Ya."

"Untuk apa Lina,"

"Untuk keluar masuk, anak-anak kita kalau sudah bisa berjalan."

Aku memegang tangan Lina dan manatap matanya dalam-dalam. Ia juga balas menatap, namun tatapannya teduh, mengharukan. Saking harunya aku tidak mampu menahan tetesan air mata yang jatuh basahi pipiku.

"Lina, apakah engkau seorang Parakang."

"Iya."

Denga lirih Lina menjawab dan terus menatap mataku. Semakin haru menatap matanya yang teduh. Tanpa sadar kupeluk tubuhnya yang padat. Inilah pertama kalinya aku memeluk  gadis ini. Iapun balas memeluk.

"Lina, apakah engkau Parakang."

"Iya."

Lagi-lagi Lina iyakan dengan suara pelan. Matanya terus menatapku dengan mata redupnya. Aku semakin terharu dan tanpa sadar bibir kami bertemu. Pertemuan pertama bibir kami setelah resmi  jadi sepasang kekasih.

"Lina, apakah engkau Parakang."

"Iya."

Tiba-tiba saja mati lampu, gelap gulita.

//

Istriku Lina, masuk kamar membawa senter. Ia dapati aku masih terus mengetik sambil gunakan lampu HP untuk meneruskan ceritaku. Kisah tentang sebuah desa yang penduduknya Parakang semua.

"Waduh, Parakang itu lagi."

Aku menoleh, Lina berdiri dalam keremangan. Namun mata  seorang suami jelas menangkap kalau pakaiannya sungguh menggoda. Kami memang harus saling menggoda, sebab baru sepekan menikah.

"Lina, apakah engkau Parakang."

"Iya."

Lina semakin mendekat, akupun berdiri menyambutnya. Lalu kami berpelukan dalam malam yang semaki dalam. Menuju pembaringan dan semakin dalam lagi.

Akupun bangun kesiangan dan Lina kulihat sementara duduk sambil memainkan key board. Rupanya ia lanjutkan ceritaku  yang kutinggal semalam karena mati lampu.

Makassar, 2 Januari 2018

Catatan: kesamaan nama dan tempat adalah kebetulan belaka,  semua itu adalah rekaan penulis semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun