Kades Jumadi pertegas lalu menatap kami satu-satu dengan mimik yang menyeramkan. Ia lalu mengisap kreteknya dalam-dalam, kemudian asapnya dikepulkan ke udara. Kami bertiga memandangi pria paruh baya ini penuh selidik dan tanya.
Kades Jumadi perbaiki posisi duduknya lalu mulai jelaskan. Ia katakan kalau Parakang itu adalah manusia biasa yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Penampilannya biasa-biasa saja, tidak menyeramkan, bahkan cewek-ceweknya cantik dan rambutnya indah.
"Kalau kalian masuk rumah penduduk, dalam rumah itu ada lubang di dinding tapi bukan jendela, tidak pakai penutup dan bisa orang lewat. Ah, itulah rumah Parakang. Perhatikan baik-baik itu Bonte."
Karena menyebut namaku, aku lalu bertanya.
"Parakang itu, bisa sakiti kita manusia biasa Pak Desa."
"Iya, bisa bunuh kita dengan memakan bagian dalam tubuh. Caranya, Parakang itu isap dubur, kemudian ikut jantung, hati dan lain-lainnya. "
"Ngerih."
"Ngerih."
"Ngerih."
Hampir bersamaan kami bertiga tanpa sadar katakan rasa takut. Kades Jumadi tersenyum lalu mengangkat tangannya menunjuk ke arah sudut rumah.
"Jangan takut, itu di sana ada penawarnya."