Mohon tunggu...
Taufik AAS P
Taufik AAS P Mohon Tunggu... Penulis - jurnalis dan pernah menulis

menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Parakang

2 Januari 2018   23:58 Diperbarui: 3 Januari 2018   23:00 1848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sebagai orang baru di kampung ini, Bonte harus hati-hati dengan Parakang. Apalagi saya lihat wajahnya cukup gagah, nanti kecantol sama gadis keturunan Parakang, he he he."

Kadus ketawa kecil  sambil terus mengunyak kacang rebus. Sesekali ia seruput kopinya dan isap dalam-dalam rokoknya.

"Sudah malam Pak Kadus, saya pamit."

"Iya, silahkan. Hati-hati ya."

Kadus mengantar sampai di pintu. Tak lupa memberikan sebutir bawang merah bersiung tunggal. Katanya untuk pengusir setan. Karena perjalanan ke rumah Kades masih cukup jauh.

//

Satu purnama kami di Desa Temmubulu, membuat kami bertiga sudah menyatu dengan masyarakat. Aku dan Lina, entah kapan jadiannya, telah menjelma  pula jadi sepasang kekasih. Orang tuanya menganggapku baik dan tidak khawatirkan kalau anaknya kuajak ke kota jalan-jalan.

"Lina, saya mau Tanya."

"Silahkan."

"Andainya kita menikah nanti."

"Ya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun