"Apakah kita akan bangun rumah dengan lubang di dindingnya."
"Ya."
"Untuk apa Lina,"
"Untuk keluar masuk, anak-anak kita kalau sudah bisa berjalan."
Aku memegang tangan Lina dan manatap matanya dalam-dalam. Ia juga balas menatap, namun tatapannya teduh, mengharukan. Saking harunya aku tidak mampu menahan tetesan air mata yang jatuh basahi pipiku.
"Lina, apakah engkau seorang Parakang."
"Iya."
Denga lirih Lina menjawab dan terus menatap mataku. Semakin haru menatap matanya yang teduh. Tanpa sadar kupeluk tubuhnya yang padat. Inilah pertama kalinya aku memeluk  gadis ini. Iapun balas memeluk.
"Lina, apakah engkau Parakang."
"Iya."
Lagi-lagi Lina iyakan dengan suara pelan. Matanya terus menatapku dengan mata redupnya. Aku semakin terharu dan tanpa sadar bibir kami bertemu. Pertemuan pertama bibir kami setelah resmi  jadi sepasang kekasih.