"Iya, tapi lengkapnya, Bonte bin Bilokka."
Kadus tertawa melihat keseriusanku menjawab. Ia lalu menepuk lututku sembari katakan, tidak usah terlalu formil, santai saja.
"Jangan terlalu tegang nak Bonte, anggaplah rumah sendiri."
"Iya pak."
"Bonte, di kampung sini itu masih sedikit kolot, masyarakat percaya hal-hal mistik. Mereka masih percaya kalau ada manusia Parakang. Katanya manusia bisa memakan manusia."
Kadus itu ceritakan ulang soal Parakang, seperti yang diceritakan Kades Jumadi. Namun Kadus tidak jelaskan, kalau ada lubang di dinding untuk rumah Parakang. Tak lupa pula ayah Lina ini tenangkan dengan menunjuk ke sudut ruangan, di sana ada tongkat akar kelor pula.
Lalu dari dalam Lina membawa bakik berisi cangkir, bawa kopi rupanya. Hemm, tambah cantik saja gadis itu dimataku. Melihat anaknya keperhatikan dari jauh, Kadus batuk-batuk kecil membuat  aku mengalihkan pandangan ke dinding.
"Itu lubang angin nak Bonte, jadi dibiarkan terbuka begitu. Rata-rata rumah di sini ada lubang angin model begitu. Kalau pak desa, ia membuat lubang seperti itu  kamarnya, biar ia bisa sejuk kalau siang hari."
"Silahkan minum nak Bonte. Tidak ada kuenya. Hanya ini kacang tanah rebus."
Suara Kadus membuatku berpaling dari lubang di dinding. Aku tidak habis pikir cerita Kades Jumadi, lubang di dinding itu pertanda penghuni rumahnya Parakang. Kades juga punya lubang di kamarnya.
Aku mulai minum kopi hidangan Lina itu dengan pelan dan mengambil kacang rebus yang disorongkan oleh Kadus. Kulihat orang tua senyum-senyum dan terus perhatikan gerak-gerikku yang was-was.