Kami heran yang ditunjuk hanya sebatang kayu berlekuk-lekuk berwarna kecoklatan. Melihat longoan kami, Kades Temmubulu ini jelaskan, kalau tongkat berlekuk itu adalah akar batang kelor. Menurutnya, Parakang sangat  takut pada  akar jenis sayuran itu. Kalau akar kelor dipukulkan pada Parakang, bisa kesakitan dan mati.
//
Pertemuan di Balai Desa Temmubulu membuat kami melupakan cerita Parakang dari Kades Jumadi. Rakyat di desa ini ternyata luar biasa baik dan ramah pada kami anak-anak KKN. Dengan mudah kami berkenalan dengan para warga desa itu, mulai dari nenek-nenek, kakek-kakek, ibu-ibu, janda-janda, gadis-gadis hingga boca-boca kami salami dengan hangat.
"Saya Bonte."
"Saya Lina."
Aku berkenalan dengan anak kepala dusun, ia kelihatan terpelajar dan lebih maju berpikirnya. Dalam pertemuan dengan mahasiswa KKN, ia banyak bertanya. Ia juga adalah honorer di kantor desa.
Kades Jumadi menyenggol saat melihat aku menyalami anak kadusnya. Aku merasa tidak enak dan segera bergabung dengan teman-teman yang lain. Di sana Kadir dan Dullah senyum-senyum melihat ke arahku.
//
Malam itu, aku tidak bisa pejamkan mata, kata orang, lagi gelisah. Pikiranku melayang ke wajah Lina. Gadis itu cantik, rambutnya indah dengan bibir mungil. Meskipun gadis desa tetapi bisa membawa diri dan tidak kolot.
Dullah dan Kadir sudah duluan melambai berlayar bersama mimpi-mimpinya. Aku melihat jam dinding sudah menunjukkkan pukul 00.00 dini hari. Kudengar anjing pak Desa melolong panjang, membuatku jadi takut. Jangan-jangan banyak Parakang berkeliaran, karena menurut kades, Parakang itu cari mangsa di malam hari. Katanya pula, seorang Parakang bisa jelajahi  hingga tuju desa dalam semalam.
Saat ayam-ayam jago Kades Jumai berkokok, mataku terpejam. Aku tertidur  pulas.