Tapak kaki terdengar ganjil, saling beradu menyerang lantai yang ditapakinya. Gadis dengan gamis biru laut semata kaki berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Ya, setelah mendapatkan kabar mengenai kondisi sahabatnya, tanpa berpikir lama ia memutuskan untuk menyusul sosok pria yang lebih dulu sampai di tempat yang seolah tak pernah sepi dari pengunjung. Ia tak peduli walau banyak sepasang mata yang menatapnya dengan tatapan aneh. Ia hanya ingin memastikan keadaan sahabatnya baik-baik saja. Sungguh, hatinya benar-benar tidak tenang. Berbagai kemungkinan muncul di benaknya.
Langkahnya terhenti tepat di ambang pintu. Tubuhnya mendadak lemah. Di sana, sesosok gadis tengah terbaring tak berdaya. Matanya masih terpejam bahkan tak terusik sedikitpun dengan kabel dan selang infus yang menempel di tangannya. Bunyi monitor yang menampilkan grafik jantungnya pun tidak membuat Anisa mengerjap. Kini gadis itu asik dengan mimpi indahnya.
"Astagfirullahalazim. Anisa, Umi. Kenapa musibah harus menimpanya disaat pernikahan benar-benar berada di depan mata?" Humaira berhambur ke pelukan uminya. Di detik yang sama pula ia mendongak dan menatap lekat manik wanita yang datang bersamanya. Umi Malikah yang tak lain adalah rahim kehidupan Humaira memegang tangan putrinya yang mulai mendingin sekaligus meyakinkan.
"Jangan menangis, air mata ini tidak akan membuat Anisa kembali seperti sedia kala. Masuklah, temani dia. Saat ini yang Nak Anisa butuhkan hanyalah dirimu." Ia mengatakan sesaat setelah mengusap tangis putri semata wayangnya. Humaira mengangguk bersama dengan isak pilunya. Apa yang dikatakan Umi Malikah benar. Tangisnya tidak akan membawa Anisa kembali seperti sedia kala. Air matanya menggenang, menganak pinak di pelupuk, hanya dengan sekali kedipan air mata itu akan terjatuh."
Nak Humaira." Humaira mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara, bersama dengan itu bening yang tak dapat lagi dibendung luruh. Semenit kemudian, langkahnya terasa begitu berat. Seketika Humaira ditimpa segudang sesak. Namun, sekuat tenaga gadis itu mencoba untuk berlari dan berhambur memeluk wanita paruh baya yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Dadanya terasa begitu sesak, oksigen di sekitar seolah hirap membuatnya tak kuasa menumpahkan air mata.
"Assalamualaikum, Umi Zahra." Wanita itu terlihat tegar walau bening di pelupuknya sudah tak dapat dibendung lagi. Penglihatannya buram akibat cairan yang menganak itu. Di dalam pelukan Humaira, kesedihan itu tidak dapat disembunyikan lagi olehnya. Ia tergugu dalam beberapa menit.
"Bi idznillah ya, Umi. In syaa Allah, Anisa akan baik-baik saja. Dia itu gadis yang kuat dan cerita. Mustahil jika dia akan menyerah begitu saja." Ia melerai pelukan itu, menghapus jejak tangis dengan lembut. Gadis itu mencoba untuk menguatkan Umi Zahra meski dia sendiri tengah rapuh.
"Anisa, Nak. Kenapa harus Anisa yang mengalami ini semua?" Suaranya begitu parau, tercekat di tenggorokan membuat Humaira semakin tidak bisa untuk menyembunyikan kesedihannya. Humaira benar-benar tidak menyangka jika semua ini akan menimpa sahabatnya, bahkan sebelum pernikahan. Padahal, beberapa jam yang lalu ia masih mendengar suara tawa dari balik gawainya.
"Ada apa dengan Anisa, Umi? Kenapa Anisa bisa seperti ini?" Sekali lagi, Humaira menatap gadis yang saat ini tidak sadarkan diri itu seraya mendengarkan Umi Zahra menceritakan kronologi hingga Anisa bisa sampai seperti ini.
Humaira semakin tidak bisa menahan tangisnya ketika Umi Zahra melihat putri semata wayangnya itu tergeletak di bawah tangga dengan darah yang menganak dari kepala dan hidungnya. Sungguh, ibu mana yang tidak hancur ketika melihat anaknya mengalami kejadian mengenaskan tepat di depan matanya. Wanita paruh baya itu tidak mengetahui secara pasti mengapa putrinya bisa jatuh dari tangga. Saat itu yang Umi Zahra pikirkan hanya keselamatan putrinya.
Humaira semakin dibuat tidak mengerti oleh semua ini. Mengapa Anisa bisa terjatuh dari tangga? Ya Rabb, mungkinkah semua ini salahnya? Jika saja Humaira mengindahkan permintaan sahabatnya untuk menginap di malam sebelum hari bahagianya, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Humaira masih bisa melihat senyum yang terukir di wajah sahabatnya. Jika saja waktu itu Humaira bersama Anisa, mungkin saja malam ini sahabatnya tidak akan mengalami kecelakaan.