“Shelly, tolong kosongkan keranjang sampah di dapur,’’ terdengar suara Martha dari ruang tamu.
Sementara suara burung parkit nyaring membelah hari baru. Pagi yang cerah, sinar mentari berbaris rapih masuk melalui celah kaca jendela dan gorden. Banyak partikel debu berterbangan di sana-sini ikut meramaikan.
Suara parkit terasa ribut menganggu pagi yang hikmat.
‘’Semi, stop!’’ perintah Martha pada parkit.
Martha masih asyik terus berbicara lewat telepon. Terdengar suara tertawa di seberang sana. Dien baru saja menceritakan kisah liburannya di Malta selama seminggu.
‘’Shelly!’’
Dien masih terus ingin melanjutkan cerita liburannya, tetapi Martha memotong, ‘’ udah deh kita ketemu aja biar asyik ceritanya.’’
‘’Minggu sore ya,’’ janji suara Dien di seberang sana.
Shelly masih juga terbaring  di atas tempat tidurnya ketika Martha membuka pintu.Â
‘’Shelly, ini sudah jam sembilan, ayo bangun, sebentar papa datang. Shelly, ayo ntar kita telat ke poli!’’
Namun Shelly tetap lelap tidur. Martha menghampiri tempat tidur Shelly. Kini, degup jantung Martha demikian cepatnya hingga terdengar keras memukul dinding kepala. Tubuh Shelly dingin, wajahnya pucat, bibirnya biru kehitam-hitaman, warna hitam mewarnai mata bagian bawah. Kuku jarinya putih, tak ada darah di sana.
‘’Shelly!’’Â
Martha mengguncang-guncangkan tubuh Shelly. Tak ada reaksi, tak ada gerak, hanya nafas yang tersendat seperti suara kodok terdengar.
Secepat kilat Martha menyambar telepon Shelly di pinggir bantalnya. Nomor 112, alarm untuk pertolongan pertama. Setelah itu nomor Jos. Ditariknya beberapa pakaian yang penting; piyama dan pakaian dalam. Surat medikasi Shelly yang terletak rapih dalam map di atas meja dekat komputer juga ikut masuk dalam tas. Tak lama, hanya lima menit ambulans sudah ada di depan rumah.Â
Martha tak ingin menangis, namun air mata itu … terasa panas dan asin, perih memoles pipinya.Â
Martha mengikuti semua gerak perawat dengan hati yang sedih dan pikiran kacau. Sesekali terdengar suara perawat yang menyebut angka-angka dan menulisnya pada map, sementara perawat yang lain menusukkan jarum infus pada pembuluh vena dekat pergelangan tangan Shelly. Berkali-kali perawat melirik surat medikasi Shelly dan berbicara lewat telepon dengan seseorang.
Hiruk pikuk suara lalu lintas tiba-tiba saja begitu jauh terdengar. Tiba-tiba Martha menjadi setengah tuli. Digenggamnya terus tangan Shelly. Perjalanan terasa sangat jauh dari biasanya.
Berkali-kali Jos menelpon Martha, tetapi tidak ada reaksi. Telepon mati.
Lorong gang yang menghubungkan unit sal pertolongan pertama, terlihat begitu panjang seakan tak berujung. Martha ikut berlari bersama perawat. Pada ujung gang pintu telah terbuka, dua perawat sudah menunggu untuk mengambil alih tugas. Martha merasakan seseorang memakaikan sesuatu pada kepalanya. Martha tak tau lagi siapa yang menarik tangannya untuk mengenakan  jas warna hijau muda itu. Martha merasa tasnya di rampas oleh seseorang. Dan tiba-tiba saja mereka berada di tengah ruang dengan lampu sorot yang besar. Tiba-tiba saja Martha melihat ala-alat yang tidak asing lagi baginya.
Air mata itu, tetap saja bergulir, memanaskan penglihatannya. Entah darimana, tiba-tiba saja Jos  sudah memeluknya dari belakang. Martha hanya bisa mengenalnya lewat mata, kalau itu Jos, oleh karena Jos pun sama seperti Martha, keduanya berbalut warna hijau muda dari kepala sampai kaki.
Warna putih, hijau muda, biru muda dan denting adu peralatan meramaikan tempat sunyi itu. Terdengar suara komando; satu, dua, tiga! dan Shelly pun berpindah alas tempat tidur.
Berdua Jos dan Martha berdiri berpelukkan bahu dan tangan, menyaksikan dari jarak hanya satu meter di belakang tempat Shelly. Seseorang mengambil tempat duduk di belakang tempat tidur Shelly, anestesi.
Kini bergantian pandang mata dokter ke arah Martha dan Jos.
Tepat pukul duabelas tengah malam mata Shelly terbuka. Pipinya kini berwarna merah muda, segar. Biru dan hitam tadi pagi kini sirna.
‘’Kita tetap pantau duapuluhempat jam, setelah itu pindah ruang ICU lain,’’ ucap dokter.
Martha dan Jos duduk di dekat tempat tidur Shelly, sambil tangan Jos mengusap kepala Shelly.
‘’Mama, jangan bersedih. Shel kuat kok,’’  suaranya lemah.
‘’Ini, mama bawakan Bambi, dia sembunyi di bawah tempat tidurmu,’’ Martha menyelipkan boneka kecil Bambi teman tidur Shelly di dekat bantalnya. Dikecupnya pipi Shelly.
‘’Pap, Mam, aku ada tulis di komputer.’’
‘’Sssssssh, … usahakan bobo Shelly,’’ jari Martha menempel pada bibir anaknya.
‘’O, apa tuh?’’ tanya Jos
‘’Shel gak cerita ah, mesti baca sendiri.’’
‘’Mm ... tebak, pasti tentang aksi jualan gelang manik-manik kan?,’’ kata Martha.
Shelly hanya tersenyum membalasnya.
‘’Gak pulang Pap?’’Â
‘’Gak, kita tunggu sampai kamu sembuh dan pulang ke rumah sama-sama.’’ Jos ucapkan sambil mencium pipi Shelly.
Jos menarik kursi dekat meja, diraihnya sebuah majalah tua di atas meja. Dibacanya untuk melawan rasa kantuk.
Martha tetap duduk di pinggir tempat tidur Shelly, sambil merebahkan kepalanya dekat bantal. Kelelahan yang sangat akhirnya mengalahkan mata mereka.
Shelly terbangun. Ia merasa perutnya kejang. Dihirupnya udara dengan nafas yang panjang. Digoncangnya kepala Martha di sebelahnya, agar bangun. Namun Martha tetap pulas, tertidur.
Shelly mencoba memanggil Jos, tetapi suara itu tak juga keluar. Kejang merambat dan mengunci rongga mulut, lidah terasa kaku.
Tiba-tiba Shelly melihat semua lampu menyala, sinarnya begitu terang sekali. Belum pernah Shelly melihat lampu seperti ini, warna warni. Sesekali seperti lampu sedang berdisko, kerlap kerlip. Banyak bayangan di tembok dan plafon datang dan pergi. Ada Sisca lagi main tarik tali dengan Ben, ada tante Sherly lagi jalan-jalan dengan bayinya, bahkan ada ibu guru Bianca lagi menulis pada papan tulis di depan kelas.Â
Terdengar suara Martha memanggilnya, terasa juga elusan tangan pada pipinya.Â
Tapi Shelly masih terpesona dengan keindahan nyala lampu dan bayangan yang datang dan pergi. Begitu terangnya sinar lampu hingga Shelly bisa melihat apa saja dengan jelas.Â
Shelly tak usah meloncat, dia bisa meloncat. Tak usah berlari dia pun bisa berlari, bahkan mendaki gunung yang tinggi pun Shelly sanggup dalam hitungan detik. Sangat menakjubkan Shelly bisa mengarungi lautan yang biru, bahkan berlomba dengan ikan lumba-lumba.
Di atas ladang rumput Shelly melayang, Â kemudian cepat hidungnya menyentuh pucuk bunga-bunga jagung. Harum ladang jagung milik Jos, sudah tercium aromanya.
Di sebelah sana, ladang bunga matahari. Terlihat, semua berdansa riang dengan cahaya lampu yang begitu terang dan banyak.Â
‘’Hai,’’ sapa kembang matahari, senyumnya lebar dengan gigi yang putih. Dan matanya  bersinar seperti cahaya matahari.
Shelly mengulurkan tangan, memperkenalkan diri. Tiba-tiba saja mereka menarik tangannya ramai-ramai.
‘’Hai, mari kita menari,’’ bujuk mereka.
Begitu menyenangkan suasananya, Shelly merasa bahagia. Belum pernah ia diajak ramai-ramai begini, apalagi untuk menari.Â
Mata Shelly bisa melihat apa saja, dimana saja. Kakinya yang panjang dan lentur itu bisa meloncat sepanjang yang ia suka. Pucuk cemara yang tinggi pun bisa ia capai. Saking senangnya Shelly meloncat jauh kemana saja ia suka. Dan dimanapun ia berada selalu penuh dengan lampu yang terang.
‘’Shelly,’’ seseorang dari kejauhan memanggil namanya.Â
Bermula bayangan yang hitam seakan tak dikenal. Tetapi, tiba-tiba saja Shelly mengenalnya.
Dari kejauhan bayangan itu datang menghampirinya dengan cepat, dan kini Shelly bisa melihatnya dengan jelas. Ah, cantiknya dia. Wajahnya pernah ia lihat, tetapi dimana?
‘’Mira,’’ sapa Shelly dengan gembira.
Mereka berdua bertemu, berpelukkan. Sambil tangan berpegangan mereka menari. Ladang bunga matahari tak lelahnya mengiringi tarian mereka dengan lagu-lagu yang ceria. Ketika Shelly terjatuh karena salah melangkah pun ladang berubah cepat menjadi bantal empuk bunga-bunga. Shelly senang, sebab tak merasa sakit, ajaib!
Mereka berdua menari, menyanyi menembus ladang waktu bersama kenangan. Sepanjang parit-parit lembayung muda, Lavender menyambut mereka tanpa sungkan. Aromanya membuat jiwa demikian kaya dan terkenal. Kidung-kidung sonata tak berujung berlantun sahut menyahut. Shelly dan Mira terus menari.
‘’Sepertinya aku kenal kamu Mira.’’
Mira menganggukkan kepalanya, menunduk dan memegang kedua pipi Shelly dengan kedua tangannya. Mata Mira tajam menembus benak Shelly.
Baru kali ini Shelly melihat dalam mata Mira, pantulan bayangan dirinya sendiri. Dia berdiri di sana.
‘’Apakah aku kenal kamu?’’ tanya Shelly.
Sekali lagi Mira menganggukkan kepalanya, kali ini dengan senyum yang manis dan teduh.Â
‘’Iya, kamu adalah aku Shel, dan aku adalah kamu,’’ suara lembut Mira berkata.
Shelly mencium nafas yang keluar dari mulut Mira, harumnya begitu ia kenal. Ketika memegang tangan Mira pun, Shelly mengenal denyut nadi tangannya. Gema suara Mira seperti getar suara yang tak asing, yang pernah ia kenal siang dan malam. Bahkan getarnya sampai di dalam kamar jantung Shelly, denyutnya sama persis seperti yang ia rasakan selama ini.
‘’Mira, pernahkah dulu kita bertemu?’’Â
‘’Iya,’’ kerling mata Mira menjawab keinginan tahuan Shelly.
Tak menunggu pertanyaan Shelly selanjutnya, Mira menarik tangannya. Bersama mereka menelusuri dinding waktu. Kemana mereka pergi, selalu saja lampu-lampu menyertai dan menemani mereka.
Perjalanan waktu kenangan akhirnya membawa mereka berdua sampai pada sebuah tempat di atas bukit. Mata mereka menyapu hantaran lembah yang penuh dengan kerlipan lampu-lampu kehidupan.
Pohon Akasia yang rindang siap menunggu. Di bawahnya terhampar bunga-bunga liar Meadows berwarna putih dan kuning sebagai alas selimut tempat mereka berbaring.Â
Kata Mira,’’ mari rebahkan kepalamu pada pangkuanku.’’
Sambil memainkan setangkai bunga Meadow kuning di antara jari-jarinya, Shelly merebahkan kepala pada pangkuan Mira. Pipinya menyentuh dinding perut Mira, terdengar ritme kisah yang siap dimainkan melodinya. Getar yang pernah ia rasakan dan dengar, tetapi entah dimana.
Sementara jari lentik Mira bermain di antara ruas rambut di kepala Shelly. Baru kali ini, untuk yang pertama kalinya Shelly melihat betapa Mira memiliki lancip dagu serta lesung pipi seperti dirinya.Â
Lampu-lampu misteri kehidupan tetap saja menerangi mereka berdua, dan juntai cabang pohon Akasia yang rindang seakan menari riang tertiup angin yang sepoi.
Alam memerintahkan Mira memulai kisahnya. Dari jauh terdengar parkit Semi bernyanyi mengiringi kisah Mira. Suaranya merdu mengalahkan denting solo musik piano.
Ujung kisahpun menjadi nyata.Â
Ketika Shelly hadir di dunia ini, Mira harus mengalah, pergi demi Shelly. Martha dan Jos yang tak asing lagi bagi Mira, sebab Martha adalah perawat dan Jos seorang dokter internis. Berdua mereka sepakat mengadopsi seorang bayi perempuan yang lahir prematur dari seorang perempuan piatu penderita gagal ginjal. Tak ada ayah, tak ada keluarga. Yang ada hanyalah tangan mereka berdua yang menjadi penyambung cinta dan kasih sayang dalam kehidupan baru bayi Shelly.
Mira tersenyum, Shelly pun tersenyum, lampu-lampu tersenyum, bunga-bunga di ladang pun menundukkan kepala, mereka memberi hormat.Â
‘’Aku mau tetap di sini bersamamu Mira.’’
Mira memiringkan kepalanya, melihat pada lampu yang terang, ‘’bolehkah Shelly tinggal di sini?’’
Sinar lampau kini semakin terang dan warna warni cahaya pun bermunculan. Dari pintu awan-awan yang lembut bermunculan malaikat-malaikat berjubah keemasan bermanik berlian.
Terdengar suara yang lembut dan berwibawa, yang memutuskan bahwa Shelly boleh tinggal untuk selamanya bersama Mira.
Tak kuasa air mata bahagia Mira jatuh membasahi pipi Shelly. Dipeluknya Shelly, seakan-akan Mira takut kehilangan lagi.Â
‘’Aku, mama mu Shelly.’’
‘’Mama, …’’ lirih suara Shelly terdengar. ‘’Kita jangan terpisah lagi ya Ma.’’
Mira mengedipkan mata sambil tersenyum dan mencium pipi Shelly berulang-ulang. Bunga matahari serentak menari dan menyanyi, paduan suara yang menakjubkan. Di salah satu tangkai pohon Akasia, Semi parkit ikutan bernyanyi sambil mengepakkan sayapnya yang kecil. Mira dan Shelly menyaksikan pertunjukkan ini dengan senyum dan pandangan mata bahagia.
--
Usaha untuk mengembalikan Shelly melalui defibrilator tak berhasil. Jos dan Martha dengan kesedihan yang dalam dan berat hati harus melepaskan kepergian Shelly. Sudah untuk kedua kalinya Shelly menjalani cangkok ginjal. Operasi yang kedua ini rupanya berkendala bagi kestabilan darah Shelly. Satu kali pernah Shelly mengalami keracunan darah. Rupanya, Shelly menyandang juga diagnosis yang sama seperti mamanya, Mira, yaitu gagal ginjal.
Dua hari setelah Shelly meninggal dunia, Semi parkit pun ikut-ikutan mati. Pikir Martha, mungkin Semi sangat sedih ditinggal pergi oleh Shelly. Tanpa sebab Semi di dapatkan tergeletak kaku di dalam sarangnya..
‘’Empat huruf, mama
antara album kisah sederhana
jauh, untuk dilihat
menempel di ranah hati
empat huruf, mama
2 x 4 = delapan, smuanya ku punya’’
Gemetar tubuh Martha dan Jos ketika membaca puisi pendek Shelly pada komputernya.
‘’Shelly sudah bertemu Mira,’’ ucap Martha sambil tersedu menangis. Jos pun menangis.Â
Mira dan Shelly, akhirnya bertemu. Mira tak pernah tau wajah anaknya ketika lahir. Shelly tau lewat foto Martha. Misteri kehidupan tak pernah sembunyi pada akhirnya. Berjalan bersama Mira dan Shelly menuju negeri yang baru. Di sana tak ada sakit ginjal, tak ada dokter. Di sana lampu-lampu senantiasa menyala terang tanpa jeda waktu. Dan di sana, simfoni lagu kehidupan dinyanyikan secara gratis oleh bunga matahari di taman sepanjang masa.
-o0o-
(da020417nl)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H