Murai Batu dari Aceh merupakan Potensi asli kekayaan Fauna Aceh. Satwa ini memiliki keindahan warna bulu hitam, khususnya dengan dada kuning tembaga. Burung ini pemakan serangga, dan memiliki suara yang indah serta sangat endemic. Permintaan burung murai batu dari Aceh untuk berbagai propinsi khususnya pulau Jawa sangat tinggi, sehingga memancing nilai jual yang tinggi di pasar luar Aceh, Per ekor Murai Batu dewasa yang belum bisa bersiul merdu antara Rp 1,5 juta, sampai dengan dua juta. Dan bila sudah dapat bersiul merdu antara Rp tujuh hingga sepuluh juta.
Kondisi ini, sangat menggiurkan bagi oknum pasar gelap yang ada di Aceh, dan sangat mengancam pelestarian burung. Akibatnya kepunahan satwa yang endemic yang ada di hutan Aceh terancam. Selain itu, kondisi demikian membuat semakin banyak satwa yang di perdagangkan keluar secara besar-besaran, dan melewati kapasitas Kuota yang berlaku dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Kuota pengeluaran satwa liar dari alam, dikeluarkan dengan tujuan, mencegah kepunahan satwa liar dalam waktu cepat dan merangsang masyarakat melakukan penangkaran. Hal itu bisa menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan perekonomian masyarakat.
Memang, Karantina bisa dengan mudah mengeluarkan satwa liar, berapun jumlahnya, kecuali yang termasuk dalam kuota dan yang dilindungi, dengan catatan satwa tersebut sehat. Hal itu, seperti tertera dalam data yang berisi tentang wilayah kerja Karantina Pertanian Bandara SIM, yang diperoleh acehkita.com.
Data BKSDA, rentang tahun 2006-2010 menunjukkan, angka peredaran satwa melalui Bandara SIM terus meningkat. Murai Batu misalnya, Januari 2010 lalu, satwa burung ini dikeluarkan dari Aceh sebanyak 81 ekor. Jika dikalkulasikan, per harinya, 3 ekor Murai Batu dipindahkan dari Aceh.
“Itu belum lagi ada yang membawa dengan bekal surat satu dua ekor, tapi yang dibawa sampai lima-enam ekor,” kata petugas BKSDA.
Tapi, ia menambahkan, justru, setelah penetapan sistem kuota dengan baik sejak Agustus-September tahun lalu, pembawa Murai Batu menurun. “Yang meningkat malah Kacer.” Kacer tidak ditetapkan jumlahnya dalam kuota, sehingga para penumpang membawa Murai, dengan mengatasnamakan Kacer. “Setelah tertangkap saat operasi, terbukti, itu adalah Murai.”
Peredaran satwa liar tersebut terus meningkat setiap tahunnya. Tercatat, tahun 2006, penumpang Bandara SIM membawa burung Murai sebanyak 61 ekor. Setahun setelahnya 297 ekor, dan terus meningkat di tahun 2008, yaitu sebanyak 599 ekor. Tahun 2009 sebanyak 1924 ekor dan tahun 2010 sebanyak 3416 ekor.
Selain Murai Batu, Sarang Burung Walet juga rentan diselundupkan melalui Bandara SIM. Tahun 2007 sebanyak 1.303 kilogram, tahun 2008 sebanyak 1.929 kilogram, tahun 2009 sebanyak 2.684, kilogram dan dan ditahun 2010 sebanyak 2.118 kg []
Muhammad Hamzah Hasballah
sumber : http://www.acehkita.com/berita/bisnis-ilegal-di-sultan-iskandar-muda/ , dan http://www.acehkita.com/berita/bisnis-ilegal-satwa-liar-di-iskandar-muda-2/