Ironisnya, 99% Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) serta para wakil rakyat di daerah (DPRD) se-Indonesia, yang selama ini digaji oleh rakyat Indonesia, ternyata tidak mampu menyelesaikan soal matematika sederhana di atas.
Begini cara mereka mengerjakan soal tersebut:
((Gaji Aji x 20%) + Gaji Sinta) x 20% = ((Rp 8.000.000,- x 20%) + Rp4.000.000,-) 20% = (Rp1.600.000,- + Rp4.000.000,-) 20% =Rp5.600.000,- 20% = Rp1.120.000,-
Inilah yang dilakukan oleh hampir seluruh pemerintah daerah dan perwakilan rakyat daerah dalam mengemban amanat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasal 31 UUD 1945 ayat 4 berbunyi: Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Kalau menggunakan rumus matematika yang benar dan wajar, seharusnya anak-anak Indonesia berhak mendapatkan anggaran Rp2.400.000,- per bulan.
Tetapi karena rumusnya keliru generasi penerus bangsa kita hanya mendapatkan Rp1.120.000,- per bulan saja. Apa implikasinya dengan nalar matematika para Kepala Daerah dan DPRD yang seperti itu?
Tentunya berita yang sering kita dengar dari dunia pendidikan seperti sekolah rubuh, guru dengan gaji rendah, mutu pendidikan rendah, dan lain sebagainya.
Ada sebab tentu ada akibatnya. Apa yang saya tulis di sini dapat diperiksa kebenarannya melalui situs resmi Kemdikbud tentang Neraca Pendidikan Daerah.
Sangat menyedihkan memang saat melihat ada beberapa daerah yang hanya mengalokasikan anggaran pendidikan dibawah 1% bahkan dibawah 0% sementara program prioritasnya adalah pembangunan SDM.
***